Senin, 11 April 2011

KAMUS PERIBAHASA BANJAR

Judul Buku :Kamus Peribahasa Banjar
Pengarang :Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Penerbit :Rumah Pustaka Folkor Banjar
Tebal Buku :1.539+L halaman
Tahun :2010

Tajuddin Noor Ganie, M.Pd (TNG) sudah berulang kali menerbitkan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). Namun KPB yang diterbitkan pada tahun 2010 ini merupakan KPB yang paling banyak lemanya, yakni 9.058 buah. Sebelumnya, KPB 2006 hanya memuat 1.538 lema. .
KPB 2010 tebalnya 1.539 halaman sehingga harus dipecah menjadi dua jilid, yakni jilid 1 (A-K) dan jilid II (L-W). KPB 2010 diterbitkan sebagai upaya untuk melindungi peribahasa Banjar dari ancaman kepunahan, dan untuk memudahkan penyebar-luasannya ke tengah-tengah masyarakat .
Selain itu juga dimaksudkan agar khalayak ramai dapat menjadikan KPB sebagai salah satu bahan referensi untuk memahami alam pikiran nenek moyang orang Banjar di masa lalu.

WAWANCARA DENGAN TAJUDDIN NOOR GANIE, ORANG PERTAMA YANG MENULIS TESIS TENTANG PERIBAHASA BANJAR

Bapak adalah orang pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar. Mengapa Bapak tertarik menulis tesis tentang peribahasa Banjar?

Saya tertarik menulis tesis tentang peribahasa Banjar, karena meskipun secara fungsional etnis Banjar di Kalsel sangat akrab dengan peribahasa Banjar, namun ragam/jenis folklor Banjar ini sangat jarang dibicarakan orang. Pembicaraan tentang bentuk, fungsi, makna, dan nilai peribahasa Banjar tidak pernah menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan etnis Banjar sendiri.

Tesis bapak juga sangat tebal, yaitu 395 halaman quarto. Bisa Bapak ceritakan tentang proses penulisannya?

Tesis saya memang sudah sewajarnya setebal itu, karena sumber data yang saya kaji juga banyak, yakni 165 buah peribahasa Banjar. Setiap peribahasa saya kaji karakteristik bentuknya, fungsinya, maknanya, dan nilainya. Setiap peribahasa rata-rata saya paparkan dalam 2,5 halaman. Sungguh, suatu paparan yang sebenarnya juga ringkas, padat, dan singkat. Sangat tidak realistis jika tesis saya cuma setebal 200 halaman misalnya.

Berapa lama bapak menegerjakan?

Tesis ini saya tulis selama 2 semester penuh. Sebelum memilih 165 buah peribahasa Banjar sebagai sumber data kajiannya, saya terlebih dahulu membaca dan mengkritisi 747 buah peribahasa Banjar yang sudah dikenal luas di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

Sebelumnya, mohon maaf, Pak. Ada pameo olok-olok yang populer di kalangan para mahasiswa atau bahkan para dosen, bahwa semakin tebal sebuah skripsi, tesis, dan disertasi, berarti semakin banyak pula dustanya. Tanggapan Bapak atas tudingan miring itu?

Tudingan dimasud jelas tidak ilmiah dan tidak berdasar sama sekali. Insya Allah tidak ada dusta di dalam tesis saya. Meskipun sebagai sastrawan saya terbiasa menyelipkan lanturan-lanturan (digresi) dalam struktur alur cerpen-cerpen saya, namun, dalam konteks penulisan tesis ini saya tidak mungkin menyelipkan lanturan-lanturan semacam itu. Jangankan menyelipkan lanturan-lanturan, salah tulis kata, kalimat, dan tanda baca saja sudah langsung diatensi oleh dosen pembimbing saya.

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik bentuk peribahasa Banjar?

Karakteristik bentuk peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri bentuk fisik yang membangun struktur audiovisual peribahasa Banjar ketika peribahasa Banjar dimaksud direproduksi dengan mempergunakan salah satu atau sejumlah alat bantu pengingat (mnemonic device). Karakteristik bentuk peribahasa Banjar ada 2 genre/jenis, yakni : (1) berbentuk puisi, dan (2) berbentuk kalimat.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil. Sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.

Setahu saya, Bapak adalah orang pertama yang memilah-milah peribahasa menjadi 2 genre/jenis bentuk. Sebelumya semuanya dipukul rata sebagai peribahasa saja, karena istilah yang dikenal memang cuma istilah peribahasa saja.

Bisa jadi.
Apa saja perbedaan yang ada antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi dengan yang berbentuk kalimat?

Perbedaannya terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan. Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik. Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan). Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar?

Karakteristik fungsi peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri pragmatik yang melatar-belakangi keberadaan peribahasa Banjar sebagai puisi tradisional atau ungkapan tradisional berbahasa Banjar. Karakteritik fungsi peribahasa Banjar ada 4, yakni : (1) sebagai media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat); (2) sebagai sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial; (3) sebagai sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya; dan (4) sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih,, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat). Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteristik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan dalam penelitian saya).

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik makna peribahasa Banjar?

Karakteristik makna peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri konstruksi semantik yang dapat dibangun melalui penafsiran atas kosa-kata yang dipilih, ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur kalimat peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif. Karakteristik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian saya terdiri atas 2, yakni : (1) peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran, (2) peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran. Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik nilai peribahasa Banjar?

Karakteristik nilai peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri dalam bentuk patokan-patokan normatif atau konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan perbuatan. Karakteristik nilai peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian ini terdiri atas 4 genre/jenis, yaitu peribahasa Banjar dengan konsep nilai : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan , (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty).
Hasil penelitian saya menunjukkan peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness), data ini merupakan indikasi bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, yakni : keadilan, kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan. Dalam hal ini ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif. Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas). Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik). Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter.
Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme. Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.

Menurut Bapak, apakah penelitian menyangkut peribahasa Banjar masih perlu dilakukan di masa depan?

Saya kira masih perlu. Bahkan, saya berpendapat, kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar harus semakin digiatkan terus dari waktu ke waktu.
Jika tidak, Pak?

Peribahasa Banjar dikhawatirkan akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya peribahasa Banjar akan punah tak bersisa sama sekali.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif. Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Padahal, peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menurut TNG menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.

Saya dengar Bapak sekarang ini sedang mengerjakan penyusunan Kamus Peribahasa Banjar yang jauh lebih tebal lagi dibandingkan dengan Kamus Peribahasa Banjar yang Bapak terbitkan tahun 2006 dan dicetak ulang tahun 2007?

Kamus Peribahasa Banjar dimaksud sudah selesai saya kerjakan. Tebalnya 1.539+L halaman ukuran setengah folio. Jumlah entri/lemanya 9.058 buah, terdiri atas 2 jilid, yakni Jilid 1 (A-K) dan Jilid 2 (L-W).

Terima kasih atas kesediaan Bapak diwawancarai.

Saya juga berterima kasih karena anda berkenan mewawancarai saya. (Pewawancara : Salbiah)

KAMUS PERIBAHASA BANJAR

Judul Buku : Kamus Peribahasa Banjar
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.
Penerbit : Rumah Pustaka Folklor Banjar
Tempat Tahun : Banjarmasin, Edisi 2011
Tebal : 1.539+L halaman
Peresensi : Salbiah

Para intelektual yang peduli dengan kekayaan local genius etnis Banjar di Kalsel, menyambut gembira penerbitan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). KPB merupakan pengembangan lebih lanjut dari tesis Tajuddin Noor Ganie (TNG) yang ditulisnya sebagai tugas akhir perkuliahannya di Program Pascasarjana PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (2005).
Pertama kali diterbitkan (2005) dalam bentuk tesis dengan jumlah entri/lema sebanyak 165 buah. Tahun 2006, mulai diterbitkan dalam bentuk kamus dengan jumlah entri/lema sebanyak 1.538 buah (Edisi 2006). Tahun 2011, terjadi penambahan entri/lema yang luar biasa dengan jumlah halaman 1.5391+L halaman quarto). Kali ini jumlah entri/lemanya ada sebanyak 9.058 buah (Edisi 2011). Menurut TNG, KPB disusunnya sebagai bagian dari kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar yang dilakukannya sebagai seorang intelektual dan budayawan Banjar.
Berdasarkan karakteristik bentuknya, peribahasa Banjar terdiri atas 2 ragam/jenis, yakni berbentuk puisi dan berbentuk kalimat. Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil.
Sementara itu, peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.
Perbedaan karakteristik bentuk antara peribahasa Banjar berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat menurut TNG terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan.
Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik.
Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan).
Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.
Berdasarkan karakteristik fungsinya peribahasa Banjar dapat difungsikan sebagai media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat (fungsi 1). Peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat).
Fungsi ke 2 peribahasa Banjar adalah sebagai sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial. Fungsi ke 3 peribahasa Banjar adalah sebagai sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya.
Fungsi ke 4 peribahasa Banjar adalah sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).
Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteristik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan).
Berdasarkan karakteristik maknanya, TNG berpendapat peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif.
Karakteritik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian TNG terdiri atas 2 genre/jenis, yakni : (1) peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran, (2) peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran.
Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).
Berdasarkan karakteristik nilainya, peribahasa Banjar menurut hasil penelitian TNG mengandung 4 konsep nilai, yakni : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan, (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty).
Hasil penelitian TNG menunjukkan peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness), data ini menurut TNG merupakan indikasi bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Menurut TNG, ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan. Nilai kebaikan lain yang juga ditanamkan melalui peribahasa Banjar adalah keadilan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif.
Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas).
Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik). Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan menurut TNG merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter.
Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme.
Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.

KAMUS PERIBAHASA BANJAR

Judul Buku : Kamus Peribahasa Banjar
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.
Penerbit : Rumah Pustaka Folklor Banjar
Tempat Tahun : Banjarmasin, Edisi 2011
Tebal : 1.539+L halaman
Peresensi : Salbiah

Para intelektual yang peduli dengan kekayaan local genius etnis Banjar di Kalsel, menyambut gembira penerbitan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). KPB merupakan pengembangan lebih lanjut dari tesis Tajuddin Noor Ganie (TNG) yang ditulisnya sebagai tugas akhir perkuliahannya di Program Pascasarjana PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (2005).
Pertama kali diterbitkan (2005) dalam bentuk tesis dengan jumlah entri/lema sebanyak 165 buah. Tahun 2006, mulai diterbitkan dalam bentuk kamus dengan jumlah entri/lema sebanyak 1.538 buah (Edisi 2006). Tahun 2011, terjadi penambahan entri/lema yang luar biasa dengan jumlah halaman 1.5391+L halaman quarto). Kali ini jumlah entri/lemanya ada sebanyak 9.058 buah (Edisi 2011). Menurut TNG, KPB disusunnya sebagai bagian dari kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar yang dilakukannya sebagai seorang intelektual dan budayawan Banjar.
Berdasarkan karakteristik bentuknya, peribahasa Banjar terdiri atas 2 ragam/jenis, yakni berbentuk puisi dan berbentuk kalimat. Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil.
Sementara itu, peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.
Perbedaan karakteristik bentuk antara peribahasa Banjar berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat menurut TNG terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan.
Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik.
Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan).
Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.
Berdasarkan karakteristik fungsinya peribahasa Banjar dapat difungsikan sebagai media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat (fungsi 1). Peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat).
Fungsi ke 2 peribahasa Banjar adalah sebagai sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial. Fungsi ke 3 peribahasa Banjar adalah sebagai sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya.
Fungsi ke 4 peribahasa Banjar adalah sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).
Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteristik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan).
Berdasarkan karakteristik maknanya, TNG berpendapat peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif.
Karakteritik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian TNG terdiri atas 2 genre/jenis, yakni : (1) peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran, (2) peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran.
Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).
Berdasarkan karakteristik nilainya, peribahasa Banjar menurut hasil penelitian TNG mengandung 4 konsep nilai, yakni : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan, (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty).
Hasil penelitian TNG menunjukkan peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness), data ini menurut TNG merupakan indikasi bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Menurut TNG, ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan. Nilai kebaikan lain yang juga ditanamkan melalui peribahasa Banjar adalah keadilan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif.
Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas).
Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik). Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan menurut TNG merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter.
Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme.
Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.

RESENSI BUKU : GUGATAN KEPRIHATINAN TERHADAP NASIB BURUK PERIBAHASA BANJAR

Judul Buku : Kamus Peribahasa Banjar
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.
Penerbit : Rumah Pustaka Folklor Banjar
Tempat Tahun : Banjarmasin, Edisi, 2011
Tebal : 1.539+L halaman
Peresensi : Salbiah

Folklor Banjar yang hidup dan berkembang di kalangan etnis Banjar di Kalsel sangat banyak ragam/jenisnya, salah satu di antaranya adalah peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik, dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar
Meskipun secara fungsional peribahasa Banjar sangat akrab dengan etnis Banjar di Kalsel, namun tidak semua anggota kolektifnya tertarik melakukan kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar. Fakta menunjukan pembicaraan formal dan informal menyangkut karakteristik bentuk, makna, fungsi, dan nilai peribahasa Banjar sangat jarang dilakukan oleh para inteletual yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri.
Tajuddin Noor Ganie (TNG) merupakan intelektual Banjar pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar (2005). Kamus Peribahasa Banjar (Edisi 2009) (KPB 2009) ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari KPB-KPB sebelumnya. KPB 2006 dan KPB 2007 memuat 1.358 buah peribahasa Banjar, dan KPB 2011 memuat 9.058 buah peribahasa Banjar. Setiap peribahasa Banjar diuraikan TNG secara terperinci dengan merujuk kepada 4 aspek bahasan, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai.

KARAKTERISTIK BENTUK PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik bentuk peribahasa Banjar ialah ciri-ciri bentuk fisik yang membangun struktur audiovisualnya ketika direproduksi dengan mempergunakan salah satu atau sejumlah alat bantu pengingat (mnemonic device). Karakteristik bentuk peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam khasanah folklor Banjar terdiri atas 2 genre/jenis, yakni : (1) berbentuk puisi, dan (2) berbentuk kalimat.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil. Sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.
Perbedaan karakteristik bentuk antara peribahasa Banjar berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan. Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik. Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan). Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.

KARAKTERISTIK FUNGSI PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik fungsi peribahasa Banjar ialah ciri-ciri pragmatik yang melatar-belakangi keberadaannya sebagai puisi tradisional atau ungkapan tradisional berbahasa Banjar. Karakteritik fungsi peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam khasanah folklor Banjar terdiri 4 genre/jenis, yakni peribahasa Banjar yang difungsikan sebagai : (1) media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat); (2) sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial; (3) sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya; dan (4) media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih,, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat). Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteritik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan) dalam khasanah folklor Banjar.

KARAKTERISTIK MAKNA PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik makna peribahasa Banjar ialah ciri-ciri konstruksi semantik yang dapat dibangun melalui penafsiran atas kosa-kata yang dipilih, ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur kalimat peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif. Karakteristik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian ini terdiri atas 2 genre/jenis, yakni peribahasa Banjar yang : (1) mengandung dan (2) tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran. Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).

KARAKTERISTIK NILAI PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik nilai peribahasa Banjar ialah ciri-ciri dalam bentuk patokan-patokan normatif atau konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan perbuatan. Karakteristik nilai peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam khasanah folklor Banjar ini terdiri atas 4 genre/jenis, yaitu peribahasa Banjar dengan konsep nilai : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan , (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty). Peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan dalam khasanah folklor Banjar adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness), fakta ini merupakan indikasi bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, yakni : keadilan, kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan. Dalam hal ini ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif. Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas). Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik). Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter. Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tetapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme. Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.

RESENSI BUKU : GUGATAN KEPRIHATINAN TERHADAP NASIB BURUK PERIBAHASA BANJAR

Judul Buku : Kamus Peribahasa Banjar
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.
Penerbit : Rumah Pustaka Folklor Banjar
Tempat Tahun : Banjarmasin, Edisi, 2011
Tebal : 1.539+L halaman
Peresensi : Salbiah

Folklor Banjar yang hidup dan berkembang di kalangan etnis Banjar di Kalsel sangat banyak ragam/jenisnya, salah satu di antaranya adalah peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik, dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar
Meskipun secara fungsional peribahasa Banjar sangat akrab dengan etnis Banjar di Kalsel, namun tidak semua anggota kolektifnya tertarik melakukan kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar. Fakta menunjukan pembicaraan formal dan informal menyangkut karakteristik bentuk, makna, fungsi, dan nilai peribahasa Banjar sangat jarang dilakukan oleh para inteletual yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri.
Tajuddin Noor Ganie (TNG) merupakan intelektual Banjar pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar (2005). Kamus Peribahasa Banjar (Edisi 2009) (KPB 2009) ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari KPB-KPB sebelumnya. KPB 2006 dan KPB 2007 memuat 1.358 buah peribahasa Banjar, dan KPB 2011 memuat 9.058 buah peribahasa Banjar. Setiap peribahasa Banjar diuraikan TNG secara terperinci dengan merujuk kepada 4 aspek bahasan, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai.

KARAKTERISTIK BENTUK PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik bentuk peribahasa Banjar ialah ciri-ciri bentuk fisik yang membangun struktur audiovisualnya ketika direproduksi dengan mempergunakan salah satu atau sejumlah alat bantu pengingat (mnemonic device). Karakteristik bentuk peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam khasanah folklor Banjar terdiri atas 2 genre/jenis, yakni : (1) berbentuk puisi, dan (2) berbentuk kalimat.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil. Sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.
Perbedaan karakteristik bentuk antara peribahasa Banjar berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan. Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik. Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan). Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.

KARAKTERISTIK FUNGSI PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik fungsi peribahasa Banjar ialah ciri-ciri pragmatik yang melatar-belakangi keberadaannya sebagai puisi tradisional atau ungkapan tradisional berbahasa Banjar. Karakteritik fungsi peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam khasanah folklor Banjar terdiri 4 genre/jenis, yakni peribahasa Banjar yang difungsikan sebagai : (1) media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat); (2) sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial; (3) sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya; dan (4) media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih,, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat). Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteritik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan) dalam khasanah folklor Banjar.

KARAKTERISTIK MAKNA PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik makna peribahasa Banjar ialah ciri-ciri konstruksi semantik yang dapat dibangun melalui penafsiran atas kosa-kata yang dipilih, ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur kalimat peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif. Karakteristik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian ini terdiri atas 2 genre/jenis, yakni peribahasa Banjar yang : (1) mengandung dan (2) tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran. Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).

KARAKTERISTIK NILAI PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik nilai peribahasa Banjar ialah ciri-ciri dalam bentuk patokan-patokan normatif atau konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan perbuatan. Karakteristik nilai peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam khasanah folklor Banjar ini terdiri atas 4 genre/jenis, yaitu peribahasa Banjar dengan konsep nilai : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan , (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty). Peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan dalam khasanah folklor Banjar adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness), fakta ini merupakan indikasi bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, yakni : keadilan, kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan. Dalam hal ini ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif. Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas). Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik). Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter. Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tetapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme. Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.





































FAKTA HISTORIS PERIBAHASA BANJAR SANGAT MEMPRIHATINKAN

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Peribahasa Banjar merupakan ragam/jenis folklor Banjar yang sesungguhnya sangat familiar di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Hampir semua kegiatan berbahasa yang berlangsung secara formal dan informal di kalangan etnis Banjar di Kalsel selalu diselipi dengan peribahasa Banjar sebagai sarana retorikanya. Meskipun demikian para intelektual kampus yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri masih belum banyak yang tertarik untuk menjadikan peribahasa Banjar sebagai sumber data untuk penulisan skripsi, tesis, dan disertasinya.
Fakta ini sangat riskan jika dibiarkan terus tanpa penanganan khusus. Jika para intelektual Banjar tidak mewaspadainya, maka dapat saja terjadi disertasi tentang peribahasa Banjar ditulis oleh seorang intelektual asing, bukan oleh intelektual Banjar sendiri. Jika ini yang terjadi maka ghirah semua orang Banjar di seluruh dunia akan cidera karenanya. Tentunya, sangat ironis jika orang pertama yang menulis disertasi tentang peribahasa Banjar adalah seorang intelektual asing sebagaimana yang terjadi dalam kasus penulisan buku Jukung Banjar (Perahu Banjar) oleh orang Kanada bernama Erick Petersen tempo hari.
Kegiatan pengumpulan, pengkajian, dan revitalisasi peribahasa Banjar harus semakin digiatkan terus menerus pada masa-masa yang akan datang. Masih banyak peribahasa Banjar yang belum berhasil dikumpulkan, dikaji, dan direvitalisasikan. Jika semua intelektual Banjar bersikap acuh tak acuh, tidak peduli, apriori, atau bahkan mengabaikannya, maka dapat dipastikan kekayaan local genius yang menjadi ikon kecerdasan linguistik orang Banjar di Kalsel ini akan punah. Bahkan mungkin akan hilang begitu saja karena hak waris dan hak cipta intelektualnya telah diambil alih, diklaim, dan dikukuhkan legalitasnya oleh komunitas orang Banjar yang tinggal di luar Kalsel atau bahkan di luar negeri (Malaysia, Singapura, Negara Brunei Darussalam).
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris yang pasif atas kekayaan local genius itu, apalagi ahli waris yang aktif. Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan local genius yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Peribahasa Banjar harus tetap dilestarikan karena sejak semula jadi kekayaan local genius etnis Banjar ini sengaja diciptakan oleh nenek moyang kita sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, estetika, etika, filsafat, dan norma-norma hukum sosial. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian orang etnis di Kalsel.
Khusus menyangkut kekayaan local genius berbentuk peribahasa Banjar, sejak awal diciptakan sudah mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting. Setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.
Terbukti, meskipun secara fungsional peribahasa Banjar sangat akrab dengan etnis Banjar di Kalsel, namun tidak semua anggota kolektifnya tertarik melakukan kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar. Fakta menunjukan pembicaraan formal dan informal menyangkut karakteristik bentuk, makna, fungsi, dan nilai peribahasa Banjar sangat jarang dilakukan oleh para inteletual yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri.
Saya prihatin dengan nasib buruk peribahasa Banjar yang demikian itu. Disemangati oleh rasa keprihatinan yang mendalam, saya kemudian dengan sengaja menjadikannya sebagai bahan kajian tesis saya di Program Pascasarjana PBSID FKIP Unlam Banjarmasin (2005).
Meskipun telah berhasil menyelesaikan penulisan tesis, namun saya tetap melanjutkan kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar. Tahun 2006, saya berhasil menyelesaikan penulisan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). Jumlah entri/lemanya ketika itu cuma 1.358 buah.
Kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar masih terus saya lakukan hingga sekarang ini. Paling akhir saya meluncurkan KPB (2010) dengan jumlah entri/lema sebanyak 9.058 buah. Setiap peribahasa Banjar yang menjadi entri/lema di dalam KPB (2010) saya uraikan satu demi satu dengan merujuk kepada 4 aspek bahasan, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai. Tebal KPB (2010) adalah 1.539+L halaman setengah folio.

-----
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd, orang pertama dari kalangan budayawan dan intelektual Banjar yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar (2005).
Tinggal di Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin.
Email : tajuddinnoorganie@yahoo.com.

BUDAYAWAN DAN INTELETUAL BANJAR, KURANG BERMINAT MENELITI PERIBAHASA BANJAR

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Peribahasa Banjar merupakan ragam/jenis folklor Banjar yang sesungguhnya sangat familiar di kalangan etnis Banjar.
Hampir semua kegiatan berbahasa yang berlangsung secara formal dan informal di kalangan etnis Banjar di Kalsel selalu diselipi dengan peribahasa Banjar sebagai sarana retorikanya.
Meskipun demikian para intelektual kampus yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri masih belum banyak yang tertarik untuk menjadikan peribahasa Banjar sebagai sumber data untuk penulisan skripsi, tesis, dan disertasinya.
Menurut catatan saya, peribahasa Banjar mula-mula diperkenalkan secara tidak langsung melalui Kamus Banjar Indonesia (1976) oleh Prof. Drs. H. Abdul Djebab Hapip, M.A. Peribahasa Banjar dimaksud dijadikan sebagai pelengkap penjelasan makna kosa-kata yang menjadi lema bahasa dalam kamus beliau. Selanjutnya, pada tahun 1978 peribahasa Banjar dijadikan sebagai salah satu topik bahasan dalam buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan karangan M. Idwar Saleh dkk.
Sampai sejauh ini sudah terbit 5 buku kumpulan Peribahasa Banjar, yakni (1) Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Kalimantan Selatan (Syukrani Maswan dkk., 1984), (2) Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar Jilid I A-J (Akhmad Makkie dan Syamsiar Seman (1996), (3) Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar Jilid II K-W (Akhmad Makkie dan Syamsiar Seman (1998), (4) Ungkapan dan Peribahasa Banjar (Rustam Effendi, Abdul Djebar Hapip, dan Durdje Durasid, 1994), dan (5) Kamus Peribahasa Banjar (Tajuddin Noor Ganie, Edisi 2006, Edisi 2007, Edisi 2009, dan Edisi 2010).
Sementara itu karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang sudah ditulis orang tercatat 5 judul, yakni : (1) Peran Peribahasa Banjar Sebagai Salah Satu Bentuk Karya Sastra Lama di SLTP (Masnah, STKIP PGRI, Banjarmasin, (1999), (2) Nilai Budaya Dalam Peribahasa Banjar (Ruswatina, STKIP PGRI, Banjarmasin, 1999), (3) Peranan Peribahasa Banjar dalam Mengisi Muatan Lokal di Sekolah Dasar (Halimatussa’diyah, STKIP PGRI, Banjarmasin, 2002), (4) Nilai Nilai Pendidikan Dalam Peribahasa Banjar (Noor Hairiyah, STKIP PGRI, Banjarmasin, 2004), dan (5) Pemanfaatan Metafora Binatang dalam Peribahasa Banjar (Sufriadi, 2007).
Kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa harus semakin digiatkan terus dari waktu ke waktu, jika tidak, dikhawatirkan peribahasa Banjar akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya akan punah tak bersisa sama sekali.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif. Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Padahal, peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni
(1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja;
(2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan
(3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka.
Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.

-----
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd, orang pertama dari kalangan budayawan dan intelektual Banjar yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar (2005).
Tinggal di Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin.
Email : tajuddinnoorganie@yahoo.com.

GUGATAN KEPRIHATINAN TERHADAP NASIB BURUK PERIBAHASA BANJAR

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Folklor Banjar yang hidup dan berkembang di kalangan etnis Banjar di Kalsel sangat banyak ragam/jenisnya, salah satu di antaranya adalah peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik, dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, estetika, etika, filsafat, dan norma-norma sosial. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar
Meskipun secara fungsional peribahasa Banjar sangat akrab dengan etnis Banjar di Kalsel, namun tidak semua anggota kolektifnya tertarik melakukan kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar. Fakta menunjukan pembicaraan formal dan informal menyangkut karakteristik bentuk, makna, fungsi, dan nilai peribahasa Banjar sangat jarang dilakukan oleh para inteletual yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri.
Saya prihatin dengan nasib buruk peribahasa Banjar yang demikian itu. Disemangati oleh rasa keprihatinan yang mendalam, saya kemudian dengan sengaja menjadikannya sebagai bahan kajian tesis saya di Program Pascasarjana PBSID FKIP Unlam Banjarmasin (2005).
Meskipun telah berhasil menyelesaikan penulisan tesis, namun saya tetap melanjutkan kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar. Tahun 2006, saya berhasil menyelesaikan penulisan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). Jumlah entri/lemanya ketika itu cuma 1.358 buah.
Kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar masih terus saya lakukan hingga sekarang ini. Paling akhir saya meluncurkan KPB (2010) dengan jumlah entri/lema sebanyak 9.058 buah. Setiap peribahasa Banjar yang menjadi entri/lema di dalam KPB (2010) saya uraikan satu demi satu dengan merujuk kepada 4 aspek bahasan, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai. Tebal KPB (2010) adalah 1.539+L halaman setengah folio.

Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Budayawan dan intelektual Banjar pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar

UPAYA UNTUK MEMULIHKAN FUNGSI SOSIAL PERIBAHASA BANJAR

Oleh Tajuddin Noor Ganie, MPd

Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kasel.
Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni.
(1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja;
(2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan
(3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka.
Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa.
Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar.
Namun, sungguh ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif.
Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa harus semakin digiatkan terus menerus dari waktu ke waktu.
Jika tidak, dikhawatirkan peribahasa Banjar akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya akan punah tak bersisa sama sekali.
Saya prihatin dengan nasib buruk peribahasa Banjar yang demikian itu. Disemangati oleh rasa keprihatinan yang mendalam, saya kemudian dengan sengaja menjadikannya sebagai bahan kajian tesis saya di Program Pascasarjana PBSID FKIP Unlam Banjarmasin (2005).
Meskipun telah berhasil menyelesaikan penulisan tesis, namun saya tetap melanjutkan kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar. Tahun 2006, saya berhasil menyelesaikan penulisan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). Jumlah entri/lemanya ketika itu cuma 1.358 buah.
Kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar masih terus saya lakukan hingga sekarang ini. Paling akhir saya meluncurkan KPB (2010) dengan jumlah entri/lema sebanyak 9.058 buah.
Setiap peribahasa Banjar yang menjadi entri/lema di dalam KPB (2010) saya uraikan satu demi satu dengan merujuk kepada 4 aspek bahasan, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai. Tebal KPB (2010) adalah 1.539+L halaman setengah folio.
Saya berharap penerbitan KPB (Edisi 2010) ini merupakan awal untuk memulihkan fungsi sosial peribahasa Banjar sebagai media kolektif untuk mengajarkan adat-istiadat, moral normatif, estetika, etika, filsafat, norma-norma sosial, dan norma-norma politik.

----------
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Budayawan dan intelektual Banjar pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar

KARAKTERISTIK BENTUK, MAKNA. FUNGSI, DAN NILAI PERIBAHASA BANJAR

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar harus semakin digiatkan terus dari waktu ke waktu, jika tidak, dikhawatirkan peribahasa Banjar akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya akan punah tak bersisa sama sekali.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif. Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Padahal, peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka.
Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.

KARAKTERISTIK BENTUK PERIBASA BANJAR
Karakteristik bentuk peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri bentuk fisik yang membangun struktur audiovisualnya ketika direproduksi dengan mempergunakan salah satu atau sejumlah alat bantu pengingat (mnemonic device).
Karakteristik bentuk peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya di kalangan masyarakat Banjar di Kalsel terdiri atas 2 genre/jenis, yakni : (1) berbentuk puisi, dan (2) berbentuk kalimat.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil. Sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.
Perbedaan karakteristik bentuk antara peribahasa Banjar berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan.
Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik. Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan).
Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.

KARAKTERISTIK FUNGSI PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik fungsi peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri pragmatik yang melatar-belakangi keberadaannya sebagai puisi tradisional atau ungkapan tradisional berbahasa Banjar.
Karakteritik fungsi peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya di kalangan masyarakat Banjar di Kalsel terdiri atas 4 genre/jenis, yakni peribahasa Banjar yang difungsikan sebagai : (1) media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat); (2) sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial; (3) sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya; dan (4) media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih,, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat). Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteristik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan).

KARAKTERISTIK MAKNA PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik makna peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri konstruksi semantik yang dapat dibangun melalui penafsiran atas kosa-kata yang dipilih, ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur kalimat peribahasa Banjar.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif.
Karakteritik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya di kalangan etnis Banjar di Kalsel terdiri atas 2 genre/jenis, yakni : (1) peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran, (2) peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran.
Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).
KARAKTERISTIK NILAI PERIBAHASA BANJAR
Karakteristik nilai peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri dalam bentuk patokan-patokan normatif atau konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan perbuatan.
Karakteristik nilai peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya di kalangan masyarakat Banjar di Kalsel terdiri atas 4 genre/jenis, yaitu peribahasa Banjar dengan konsep nilai : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan , (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty).
Hasil penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness).
Data ini merupakan petunjuk bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, yakni : keadilan, kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan.
Dalam hal ini ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif.
Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas).
Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik).
Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter.
Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme.
Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.

Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Budayawan dan intelektual Banjar pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar. Tinggal di Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119, email : tajuddinnoorganie@yahoo. com.