Senin, 11 April 2011

BUDAYAWAN DAN INTELETUAL BANJAR, KURANG BERMINAT MENELITI PERIBAHASA BANJAR

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Peribahasa Banjar merupakan ragam/jenis folklor Banjar yang sesungguhnya sangat familiar di kalangan etnis Banjar.
Hampir semua kegiatan berbahasa yang berlangsung secara formal dan informal di kalangan etnis Banjar di Kalsel selalu diselipi dengan peribahasa Banjar sebagai sarana retorikanya.
Meskipun demikian para intelektual kampus yang berasal dari kalangan etnis Banjar sendiri masih belum banyak yang tertarik untuk menjadikan peribahasa Banjar sebagai sumber data untuk penulisan skripsi, tesis, dan disertasinya.
Menurut catatan saya, peribahasa Banjar mula-mula diperkenalkan secara tidak langsung melalui Kamus Banjar Indonesia (1976) oleh Prof. Drs. H. Abdul Djebab Hapip, M.A. Peribahasa Banjar dimaksud dijadikan sebagai pelengkap penjelasan makna kosa-kata yang menjadi lema bahasa dalam kamus beliau. Selanjutnya, pada tahun 1978 peribahasa Banjar dijadikan sebagai salah satu topik bahasan dalam buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan karangan M. Idwar Saleh dkk.
Sampai sejauh ini sudah terbit 5 buku kumpulan Peribahasa Banjar, yakni (1) Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Kalimantan Selatan (Syukrani Maswan dkk., 1984), (2) Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar Jilid I A-J (Akhmad Makkie dan Syamsiar Seman (1996), (3) Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar Jilid II K-W (Akhmad Makkie dan Syamsiar Seman (1998), (4) Ungkapan dan Peribahasa Banjar (Rustam Effendi, Abdul Djebar Hapip, dan Durdje Durasid, 1994), dan (5) Kamus Peribahasa Banjar (Tajuddin Noor Ganie, Edisi 2006, Edisi 2007, Edisi 2009, dan Edisi 2010).
Sementara itu karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang sudah ditulis orang tercatat 5 judul, yakni : (1) Peran Peribahasa Banjar Sebagai Salah Satu Bentuk Karya Sastra Lama di SLTP (Masnah, STKIP PGRI, Banjarmasin, (1999), (2) Nilai Budaya Dalam Peribahasa Banjar (Ruswatina, STKIP PGRI, Banjarmasin, 1999), (3) Peranan Peribahasa Banjar dalam Mengisi Muatan Lokal di Sekolah Dasar (Halimatussa’diyah, STKIP PGRI, Banjarmasin, 2002), (4) Nilai Nilai Pendidikan Dalam Peribahasa Banjar (Noor Hairiyah, STKIP PGRI, Banjarmasin, 2004), dan (5) Pemanfaatan Metafora Binatang dalam Peribahasa Banjar (Sufriadi, 2007).
Kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa harus semakin digiatkan terus dari waktu ke waktu, jika tidak, dikhawatirkan peribahasa Banjar akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya akan punah tak bersisa sama sekali.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif. Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Padahal, peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni
(1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja;
(2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan
(3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka.
Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.

-----
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd, orang pertama dari kalangan budayawan dan intelektual Banjar yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar (2005).
Tinggal di Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin.
Email : tajuddinnoorganie@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar