Senin, 11 April 2011

WAWANCARA DENGAN TAJUDDIN NOOR GANIE, ORANG PERTAMA YANG MENULIS TESIS TENTANG PERIBAHASA BANJAR

Bapak adalah orang pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar. Mengapa Bapak tertarik menulis tesis tentang peribahasa Banjar?

Saya tertarik menulis tesis tentang peribahasa Banjar, karena meskipun secara fungsional etnis Banjar di Kalsel sangat akrab dengan peribahasa Banjar, namun ragam/jenis folklor Banjar ini sangat jarang dibicarakan orang. Pembicaraan tentang bentuk, fungsi, makna, dan nilai peribahasa Banjar tidak pernah menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan etnis Banjar sendiri.

Tesis bapak juga sangat tebal, yaitu 395 halaman quarto. Bisa Bapak ceritakan tentang proses penulisannya?

Tesis saya memang sudah sewajarnya setebal itu, karena sumber data yang saya kaji juga banyak, yakni 165 buah peribahasa Banjar. Setiap peribahasa saya kaji karakteristik bentuknya, fungsinya, maknanya, dan nilainya. Setiap peribahasa rata-rata saya paparkan dalam 2,5 halaman. Sungguh, suatu paparan yang sebenarnya juga ringkas, padat, dan singkat. Sangat tidak realistis jika tesis saya cuma setebal 200 halaman misalnya.

Berapa lama bapak menegerjakan?

Tesis ini saya tulis selama 2 semester penuh. Sebelum memilih 165 buah peribahasa Banjar sebagai sumber data kajiannya, saya terlebih dahulu membaca dan mengkritisi 747 buah peribahasa Banjar yang sudah dikenal luas di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

Sebelumnya, mohon maaf, Pak. Ada pameo olok-olok yang populer di kalangan para mahasiswa atau bahkan para dosen, bahwa semakin tebal sebuah skripsi, tesis, dan disertasi, berarti semakin banyak pula dustanya. Tanggapan Bapak atas tudingan miring itu?

Tudingan dimasud jelas tidak ilmiah dan tidak berdasar sama sekali. Insya Allah tidak ada dusta di dalam tesis saya. Meskipun sebagai sastrawan saya terbiasa menyelipkan lanturan-lanturan (digresi) dalam struktur alur cerpen-cerpen saya, namun, dalam konteks penulisan tesis ini saya tidak mungkin menyelipkan lanturan-lanturan semacam itu. Jangankan menyelipkan lanturan-lanturan, salah tulis kata, kalimat, dan tanda baca saja sudah langsung diatensi oleh dosen pembimbing saya.

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik bentuk peribahasa Banjar?

Karakteristik bentuk peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri bentuk fisik yang membangun struktur audiovisual peribahasa Banjar ketika peribahasa Banjar dimaksud direproduksi dengan mempergunakan salah satu atau sejumlah alat bantu pengingat (mnemonic device). Karakteristik bentuk peribahasa Banjar ada 2 genre/jenis, yakni : (1) berbentuk puisi, dan (2) berbentuk kalimat.
Peribahasa Banjar berbentuk puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perulangan (repetisi), terdiri atas : (a) gurindam, (b) kiasan, (c) mamang papadah, (d) pameo huhulutan, (e) saluka, dan (f) tamsil. Sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat adalah kalimat tunggal atau kalimat majemuk yang disusun sedemikian rupa dengan cara merujuk kepada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, dan pertautan (bukan perulangan), terdiri atas : (a) papatah-patitih, (b) paribasa, (c) parumpamaan, (d) ibarat, dan (e) papadah.

Setahu saya, Bapak adalah orang pertama yang memilah-milah peribahasa menjadi 2 genre/jenis bentuk. Sebelumya semuanya dipukul rata sebagai peribahasa saja, karena istilah yang dikenal memang cuma istilah peribahasa saja.

Bisa jadi.
Apa saja perbedaan yang ada antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi dengan yang berbentuk kalimat?

Perbedaannya terletak pada ragam/jenis gaya bahasa yang dirujuknya. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan. Perbedaan ragam/jenis gaya bahasa dimaksud berimplikasi langsung pada terjadinya perbedaan karakteristik bentuk, karena kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk puisi berbeda dengan kosa-kata yang dapat dipilih untuk ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur peribahasa Banjar berbentuk kalimat.
Struktur gaya bahasa perulangan (repetisi) setidak-tidaknya menuntut adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, hampir sama secara morfologis, kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a, baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, tengah, dan akhir baris/larik. Ciri-ciri karakteristik bentuk di atas identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi), seperti : aliterasi, anadiplosis, anafora, antanaklasis, asonansi, epanalepsis, epistrofa, epizeukis, kiasmus, mesodiplosis, simploke, dan tautotes
Sedang gaya bahasa perbandingan dan pertentangan mengesampingkan semua ciri yang melekat pada gaya bahasa perulangan (repetisi) di atas. Gaya bahasa perbandingan cuma menuntut adanya 2 entitas kalimat yang dapat saling diperbandingkan (gaya bahasa perbandingan) atau dipertentangkan (gaya bahasa pertentangan). Ciri-ciri karakteristik bentuk berupa kalimat tunggal atau kalimat majemuk di atas menunjukkan peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan, seperti : antitesis, depersonifikasi, inuendo, ironi, metafora, paradoks, perifrasis, perumpamaan), sarkasme, dan hyperbola.

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar?

Karakteristik fungsi peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri pragmatik yang melatar-belakangi keberadaan peribahasa Banjar sebagai puisi tradisional atau ungkapan tradisional berbahasa Banjar. Karakteritik fungsi peribahasa Banjar ada 4, yakni : (1) sebagai media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat); (2) sebagai sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial; (3) sebagai sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya; dan (4) sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara, peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah gurindam, pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih,, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat). Dari 4 fungsi ini, peribahasa Banjar dengan karakteristik fungsi nomor 4 merupakan peribahasa Banjar yang paling dominan (paling banyak ditemukan dalam penelitian saya).

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik makna peribahasa Banjar?

Karakteristik makna peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri konstruksi semantik yang dapat dibangun melalui penafsiran atas kosa-kata yang dipilih, ditata, ditempatkan, dan diurutkan dalam struktur kalimat peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar berbentuk puisi identik dengan karakteristik makna stilistika, sedang peribahasa Banjar berbentuk kalimat identik dengan karakteristik makna konotatif. Karakteristik makna peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian saya terdiri atas 2, yakni : (1) peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan dan kebenaran, (2) peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran. Peribahasa Banjar yang mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah mamang papadah (berbentuk puisi) dan papadah (berbentuk kalimat). Sedang peribahasa Banjar yang tidak mengandung kebijaksanaan atau kebenaran adalah pameo huhulutan (berbentuk puisi), papatah-patitih, parumpamaan, dan ibarat (berbentuk kalimat).

Apa yang Bapak maksudkan dengan karakteristik nilai peribahasa Banjar?

Karakteristik nilai peribahasa Banjar merujuk kepada ciri-ciri dalam bentuk patokan-patokan normatif atau konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan perbuatan. Karakteristik nilai peribahasa Banjar yang ditemukan perwujudannya dalam penelitian ini terdiri atas 4 genre/jenis, yaitu peribahasa Banjar dengan konsep nilai : (1) kekudusan (holiness), (2) kebaikan (goodness), yang terdiri atas : (a) keadilan, (b) kearifan , (c) kedisiplinan, (d) kejujuran, (e) ketabahan, (f) kesederhanaan, (g) kesetiaan, (3) kebenaran (truth), dan ( 4) keindahan (beauty).
Hasil penelitian saya menunjukkan peribahasa Banjar yang paling banyak ditemukan adalah peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kebaikan (goodness), data ini merupakan indikasi bahwa tujuan utama yang menjadi amanat dari setiap reproduksi lisan dan tulisan atas sebuah peribahasa Banjar di kalangan etnis Banjar di Kalsel adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, yakni : keadilan, kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketabahan, kesetiaan, dan kesederhanaan. Dalam hal ini ada 2 nilai kebaikan yang paling dominan atau paling banyak ditanamkan melalui peribahasa Banjar, yakni kearifan dan kedisiplinan.
Meskipun nilai-nilai yang ditanamkannya adalah kearifan dan kedisiplinan, namun nilai-nilai kebaikan dimaksud tidak ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik positif (estetik), sebaliknya ditanamkan melalui peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif. Kosa-kata yang dipilih sebagai media pewujudnya secara tekstual tidak langsung mencerminkan kebijaksanaan atau kebenaran karena disampaikan dengan nada mencela, mencemooh, dan menyalahkan, (bahasa Banjar : mahapak, manumpalak, dan maniwas). Nilai positifnya sebagai ikon budaya tidak langsung mencuat dari tampilan fisiknya yang negatif, sehingga para pengguna harus menggalinya dengan perlakuan atau pendekatan dekonstruksi (pembuktian terbalik). Tampilan fisik negatif itu berkaitan dengan karakteristik fungsi peribahasa Banjar yang juga negatif, yakni sebagai media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana untuk mematahkan kata-kata lawan bicara.
Dominasi peribahasa Banjar dengan karakteristik nilai kearifan dan kedisiplinan merupakan petunjuk bahwa orang-orang yang dijadikan objek gurauan, objek olok-olok, atau sebagai lawan bicara yang harus dipatahkan kata-katanya adalah orang-orang tidak arif dan orang-orang tidak disiplin (tidak terkendali), yakni orang-orang yang diposisikan sebagai musuh masyarakat paling laten (momok) di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Peribahasa Banjar dengan tampilan fisik negatif identik dengan stigma buruk yang dapat difungsikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang-orang yang tidak disukai secara sosial, yakni orang-orang dengan sikap mental negatif atau orang-orang yang tidak menguntungkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang egaliter.
Terhadap orang-orang yang menjadi musuh masyarakat ini, etnis Banjar di Kalsel tidak mau berkompromi sebaliknya bersikap konfrontatif. Peribahasa Banjar yang dipilih untuk menyadarkan atau mendisiplinkannya bukanlah peribahasa Banjar dengan kosa-kata persuasif tapi peribahasa Banjar dengan kosa-kata yang kasar yang dirangkai dalam bentuk gaya bahasa inuendo, ironi, paradoks, dan sarkasme. Dalam konteks ini peribahasa Banjar difungsikan sebagai sarana kritik sosial yang ditujukan untuk memaksa dan mengawasi anggota masyarakat agar selalu bersikap mematuhi norma-norma yang berlaku.

Menurut Bapak, apakah penelitian menyangkut peribahasa Banjar masih perlu dilakukan di masa depan?

Saya kira masih perlu. Bahkan, saya berpendapat, kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa Banjar harus semakin digiatkan terus dari waktu ke waktu.
Jika tidak, Pak?

Peribahasa Banjar dikhawatirkan akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya peribahasa Banjar akan punah tak bersisa sama sekali.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif. Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Padahal, peribahasa Banjar diciptakan sebagai bagian dari kegiatan kolektif yang berhubungan dengan hal-hal seperti adat-istiadat, ajaran moral normatif, sosial ekonomi, estetika, etika, filsafat, norma-norma politik, dan sejarah lokal. Semua aspek sosial budaya di atas merupakan masalah mendasar yang penting dan bernilai dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel.
Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian mereka. Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menurut TNG menjadi dasar rasionalnya, yakni : (1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja; (2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan (3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.

Saya dengar Bapak sekarang ini sedang mengerjakan penyusunan Kamus Peribahasa Banjar yang jauh lebih tebal lagi dibandingkan dengan Kamus Peribahasa Banjar yang Bapak terbitkan tahun 2006 dan dicetak ulang tahun 2007?

Kamus Peribahasa Banjar dimaksud sudah selesai saya kerjakan. Tebalnya 1.539+L halaman ukuran setengah folio. Jumlah entri/lemanya 9.058 buah, terdiri atas 2 jilid, yakni Jilid 1 (A-K) dan Jilid 2 (L-W).

Terima kasih atas kesediaan Bapak diwawancarai.

Saya juga berterima kasih karena anda berkenan mewawancarai saya. (Pewawancara : Salbiah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar