Oleh Tajuddin Noor Ganie
1
Pendahuluan
Peribahasa
Banjar ialah kalimat pendek dalam
bahasa Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik
(merujuk pada suatu formula bentuk tertentu), dan sudah dikenal luas sebagai
ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung,
dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan
perulangan (Ganie, 2008:v)
Peribahasa Banjar dikenal secara umum
sebagai seperangkat kota kata bahasa Banjar yang berisi ajaran nilai-nilai
budaya luhur yang diacu dan berlaku di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Sejak
zaman dahulu kala, susunan kata-kata khas yang bersifat anonim ini diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Mula-mula diwariskan secara
lisan dari mulut ke mulut (oral), tetapi kemudian diwariskan dengan cara
dituliskan, yakni setelah orang Banjar mengenal huruf Arab (sejak 1526) dan
huruf Latin (sejak 1860).
Ketika melakukan
pekerjaan menyusun entri/lema Kamus Peribahasa Banjar (2010) penulis menemukan
banyak sekali susunan kata-kata formulaik yang membentuk peribahasa Banjar yang
secara teoretis memenuhi kriteria sebagai ungkapan jenaka. Bentuk ungkapan
jenaka yang dimaksud dalam makalah ini adalah susunan kata-kata yang dapat
membangkitkan kelucuan, sehingga sering dijadikan sebagai sarana retorika untuk
membangkitkan kelucuan di kalangan etnis Banjar.
2 Teori Humor
atau Jenaka
2.1 Etimologi
dan Definisi
Dalam
makalah ini istilah jenaka tidak dibedakan dengan istilah humor, sebaliknya
malah disetarakan satu sama lainnya. Penyetaraan kedua istilah ini dimaksudkan
agar penulis dapat merujuk semua teori humor yang sudah dipaparkan orang selama
ini sebagai sarana ilmiah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna
ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar.
Referensi
yang dirujuk sebagai dasar pembenar untuk menyetarakan istilah jenaka dan humor
dalam penelitian ini adalah Kamus
Indonesia Inggeris (1997 a) dan Kamus
Inggeris Indonesia (1997 b) susunan Echols dan Shadily. Istilah jenaka
dalam kamus dimaksud disetarakan dengan istilah funny dan humorous dalam
bahasa Inggeris (1997.a:241).
1. Funny diartikan sebagai cerita jenaka atau
cerita komik (1997.b:20)
2. Humorous
diartikan sebagai kejenakaan atau kelucuan (1997.b:306)
Menurut Rani (1996:287) dan Hasanuddin WS, dkk. (2007:378),
istilah jenaka merujuk kepada pengertian lucu atau dapat membangkitkan
kelucuan.
Humor menurut Hasannuddin WS, dkk. (2007:332) merujuk kepada
pengertian
1. Kejenakaan yang menimbulkan kesenangan, dan
2. Kecakapan melihat, memahami, atau mengutarakan sesuatu yang menyenangkan
atau menerbitkan tertawa.
Istilah humor menurut Rahmanadji (2010:1) berasal dari bahasa
Latin umor, artinya cairan. Menurut
teori purba di zaman Plato, di dalam tubuh manusia mengalir 4 jenis cairan
(umor) yang dapat memengaruhi suasana hati manusia yang bersangkutan, yakni
darah (sanguis), lendir (phleghm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy).
Seseorang yang sedang bersuka cita diyakini sebagai orang
yang cairan tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut darah. Dominasi cairan
darah itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya ketika itu. Orang yang
sedang bersuka cita akan berbicara dengan kosa kata yang menyenangkan hati
lawan bicara. Bahasa tubuhnya juga menarik untuk dipandang mata, yakni selalu
tersenyum manis atau bahkan tertawa lepas. Selain itu, yang bersangkutan juga
menjadi seseorang yang jenaka (humoris), yakni lebih kreatif mengolah dan
memahami humor.
Seseorang yang pemarah (tempramental) diyakini sebagai orang
yang cairan tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut empedu kuning.
Dominasi cairan empedu kuning itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya
sehingga yang bersangkutan menjadi bersifat tempamental. Orang yang sedang
marah akan berbicara dengan kosa kata yang ketus dan bahasa tubuhnya membuat
orang lain merasa terancam (takut) sehingga cenderung mengambil sikap menjaga
jarak dengannya.
Seseorang yang sedang bermuram durja diyakini sebagai orang
yang cairan tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut empedu hitam. Dominasi
cairan empedu hitam itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya ketika
itu. Orang yang sedang bermuram durja akan berbicara dengan kosa kata yang
memelas. Bahasa tubuhnya juga membuat orang lain menjadi trenyuh melihatnya
(suka melamun).
Seseorang yang selalu bersikap tenang diyakini sebagai orang
yang cairan di dalam tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut lendir.
Dominasi cairan lendir itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya sehingga
selalu bersikap tenang. Orang yang seperti ini selalu berbicara dengan kosa
kata yang lemah lembut. Bahasa tubuhnya membuat orang yang melihatnya merasa
terlindungi sehingga merasa betah berada di sisinya.
Humor adalah keadaan (di dalam cerita) yang menggelikan hati
(Poerwadarminta, 1976:365). Pengertian humor pada masa sekarang ini merujuk
kepada semua hal yang secara umum dianggap lucu, tanpa membedakan apakah
kelucuan itu membuat orang terhibur atau sebaliknya membuat orang sakit hati
(Pradopo dkk, 1987:129).
Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 1997:361) dinyatakan bahwa humor adalah keadaan
(dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati, kejenakaan, dan kelucuan.
Orang yang memiliki rasa humor tinggi disebut humoris, yakni orang yang mudah
tersenyum atau bahkan tertawa lepas setiap kali mendengar sesuatu yang lucu.
Humor adalah kecakapan dalam melihat, memakai, atau
mengutarakan kejenakaan sehingga menjadi sesuatu yang menyenagkan, menggelitik,
dan menimbulkan peristiwa tertawa. Kejenakaan sendiri identik dengan
pengutaraan keanehan, kemustahilan dalam hal suasana, dan kemustahilan dalam
hal lakuan tertentu.
Pengertian istilah humor yang paling awam menurut Rahmanadji
(2010:3) ialah sesuatu yang lucu, yang menimbulkan kegelian atau tawa. Humor
identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang membuat orang tertawa.
Menurut
Mahmud dkk (1994:83-92), ada 7 dasar yang menjadi penyebab timbulnya humor,
yakni.
1. Menyimpang
dari kebiasaan
2. Distorsi
(pemutarbalikan)
3. Ketidaklogisan
(kemustahilan)
4. Kesalahanpahaman
tokoh
5. Terbongkarnya
sesuatu yang tersembunyi
6. Kecerdikan dan
kelihaian tokoh
7. Perlawanan
atas situasi
2.2 Makna
Humor
Secara
semantik masalah humor menurut Astuti (2006:2) berpusat pada ambiguitas yang
dilaksanakan dengan cara mempertentangkan dua makna yang mungkin, yakni antara
makna pertama (M.1) dengan makna kedua (M2). Para penikmat humor (pembaca,
pendengar, atau penonton) menikmati kelucuan dengan tertawa sebagai tandanya,
jika ia salah dalam memilih makna yang mungkin itu.
Sedangkan
secara pragmatik masalah humor menurut Astuti (2006:2) pada hakikatnya adalah
penyimpangan dua jenis implikatur, yakni implikatur konvensional (menyangkut
makna bentuk-bentuk linguistik), dan inplikatur penuturan (menyangkut
elemen-elemen wacana yang harus mematuhi prinsip-prinsip dasar percakapan.
Berdasarkan
paparan teoretis di atas, ini berarti humor tidak hanya sekadar penyimpangan
semantis pada tataran bahasa saja, tetapi juga penyimpangan terhadap
kaidah-kaidah pragmatik.
Aple
(1985:14) di dalam Rustono (1998:44) menyatakan bahwa humor adalah segala
bentuk rangsangan, baik verbal maupun nonverbal, yang berpotensi memancing
senyuman atau tertawaan para penikmat humor (pembaca, pendengar, atau
penonton). Rangsangan dimaksud merupakan segala bentuk tingkah laku manusia
yang dapat menimbulkan rasa gembira, geli, atau lucu pada pihak penikmat
humornya (pembaca, pendengar, atau penonton).
Monro
(1998:47) dalam Rustono (1998:51) menyatakan bahwa ada 10 penyebab terjadinya
humor, yakni.
1. Pelanggaran
terhadap sesuatu yang biasa
2. Pelanggaran
terlarang atas sesuatu atau atas suatu peristiwa biasa
3. Ketidaksenonohan
4. Kemustahilan
5. Permainan kata
6. Bualan
7. Kemalangan
8. Pengetahuan,
pemikiran, dan keahlian
9. Penghinaan
terselubung
10.
Pemasukan
sesuatu ke dalam situasi lain.
Pada
kasus-kasus tertentu, proses produksi humor, kelucuan, atau kejenakaan didukung
atau ditopang oleh ekspresi wajah dan bahasa tubuh pelaku (gestur).
2.3
Fungsi-fungsi Humor
Menurut
Astuti (2006:2), humor lisan atau humor tulis berfungsi sebagai wacana hiburan
dan wahana kritik sosial.
Koestler
menyatakan bahwa humor hanyalah satu bentuk komunikasi yang di dalamnya
terdapat suatu stimulus pada suatu tingkat kompleksitas tinggi menghasilkan
respon yang teramalkan dan tiruan pada refleks psikologis (menurut Suprana, 1995:9
dalam Rustono, 1998:46).
Rustono
(1998:47) mengemukakan bahwa humor itu hanya sebuah alat yang fungsi dan
nilainya sangat tergantung pada tujuan dan pemanfaatan oleh pemakainya.
Semua
jenis humor pada dasarnya saling memengaruhi dan memiliki persamaan dalam hal
menimbulkan gelak tawa sebagai efeknya (Mahmud dkk, 1994:5-7). Menurut Mahmud
dkk (1994::83-92), ada 3 teori tentang peristiwa tertawa yang berkaitan dengan
fungsi humor, yakni.
1. Teori
superioritas dan degradasi,
2. Teori
penyimpangan frustasi dalam harapan dan bisosiasi, dan
3. Teori
pelepasan atau pembebasan dari ketegangan atau tekanan.
Peristiwa
tertawa menurut teori superioritas dan degradasi terjadi sebagai akibat adanya
peristiwa di luar kebiasaan pada umumnya. Termasuk dalam lingkup ini adalah
segala sesuatu yang menyalahi aturan (lebih jelek atau lebih rendah). Pihak
yang menertawakan berada pada posisi tawar lebih tinggi (superioritas).
Sementara pihak yang ditertawakan berada pada posisi tawar yang lebih rendah
(degradasi). Fungsi humor menurut teori ini identik dengan aktivitas
menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.
Peristiwa
tertawa menurut teori penyimpangan frustasi dalam harapan dan biosiasi terjadi
sebagai akibat adanya peristiwa yang bersifat bisosiasi. Fenomena yang termasuk
dalam lingkup bisosiasi ini ada 3, yakni.
1. Terjadinya dua
situasi berbeda yang musykil atau mustahil dapat terjadi secara bersamaan pada
ruang dan waktu yang sama
2. Terjadinya
penyimpangan antara konsep dan objek, dan
3. Terjadinya peloncatan
yang terjadi tiba-tiba dari satu konteks ke kontek lainnya.
Fungsi
humor menurut teori ini identik dengan aktifitas menertawakan segala sesuatu
yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Peristiwa
tertawa menurut teori pelepasan atau pembebasan ketegangan atau tekanan terjadi sebagai akibat adanya peristiwa salah
paham dalam suatu tindakan komunikasi verbal dan nonverbal (miskomunikasi
antarindividu). Fungsi humor menurut teori ini identik dengan aktifitas
menertawakan segala sesuatu yang dianggap sebagai sumber ketegangan atau
tekanan itu sendiri.
3 Ungkapan
Jenaka dalam Peribahasa Banjar
Ungkapan
jenaka dalam peribahasa Banjar akan penulis paparkan berdasarkan teori-teori
bentuk humor, makna humor, dan fungsi
humor sebagaimana yang dipaparkan di atas.
3.1
Ada kada manambahi hitungan, kada ada
kada mangurangi hitungan (Ganie, 2007), ada tidak membuat
lebih, tidak ada tidak membuat kurang.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang seseorang yang tidak mempunyai manfaat sosial apa-apa. Berdasarkan
bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan
sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata
lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk
ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.
Makna
Ada atau tidak
ada dirinya, situasinya akan sama saja, kehadirannya tidak akan menambah
kekuatan, dan sebaliknya ketidak-hadirannya juga tidak akan mengurangi
kekuatan. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi
negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk
seseorang yang keberadaannya tidak diperhitungkan orang. Kehadirannya sebagai
anggota masyarakat tidak memberikan
kontribusi apa-apa. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator
sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap
lebih jelek atau lebih rendah.
Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam
peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator menyimpang dari kebiasaan, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator
negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap
lebih jelek atau lebih rendah.
3.2 Burung pipit handak jadi burung anggang (Ganie, 2007), burung pipit hendak menjadi burung enggang.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku buruk seorang manusia yang berwatak burung pipit. Burung pipit
dalam konteks peribahasa Banjar di atas melambangkan manusia yang mempunyai
kemampuan terbatas, namun ia mempunyai ambisi yang tak terbatas, yakni ingin
menjadi burung anggang (enggang).
Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni
peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau,
berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator ketidaklogisan (kemustahilan).
Makna
Burung pipit melambangkan manusia yang
lemah secara fisik (berpostur tubuh kecil). Namun, dalam konteks peribahasa
Banjar di atas maknanya bisa diperluas menjadi lemah secara finansial
(berkemampuan ekonomi lemah), dan lemah secara sosial (tidak mempunyai
kekuasaan apa-apa). Burung anggang melambangkan
manusia yang kuat secara fisik (memiliki postur tubuh lebih besar dibandingkan
burung pipit). Namun, dalam konteks peribahasa Banjar di atas maknanya bisa
diperluas menjadi lebih kuat secara finansial (berkemampuan ekonomi lebih
mapan), dan lebih kuat secara sosial (mempunyai kekuasaan yang lebih kuat).
Burung pipit dalam peribahasa Banjar
di atas dipergunakan sebagai lambang untuk menggambarkan manusia yang berambisi
besar (ingin menjadi burung enggang). Sudah pasti, ambisi besarnya itu mustahil
bisa diraihnya karena tidak didukung secara fisik, finansial, dan kekuasaan.
Namun ironisnya, dalam kehidupan kesehariannya, manusia berwatak burung pipit
ini justru suka sekali berlagak sok kaya dan sok kuasa. Makna ungkapan jenaka
di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan,
kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang suka berlagak. Orang yang lemah secara fisik, tapi suka berlagak sok kuat. Orang miskin yang suka berlagak kaya, atau orang rendahan (tidak berkuasa) yang suka berlagak seperti pejabat tinggi (berkuasa). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.
Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam
peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator ketidak-logisan (kemustahilan), (2) maknanya berkonotasi kepada
indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang
dianggap lebih jelek atau lebih rendah.
3.3
Lain nang digawi lain nang dikarja (Ganie, 2006), yang dikerjakan bukan
yang mendesak harus diselesaikan.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku buruk manusia yang bekerja semaunya saja tidak sesuai dengan
skala prioritas yang sudah ditetapkan. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar
di atas termasuk jenis pamiu huhulutan
(pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk
bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan
diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas
merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.
Makna
Gawi
dan
karja dalam bahasa Banjar merujuk
kepada makna yang sama, yakni kerja. Makna peribahasa Banjar di atas merujuk
kepada seseorang yang bekerja semaunya saja tanpa menghiraukan skala prioritas
yang sudah ditetapkan. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator
konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan ini
merupakan olok-olok untuk seseorang yang bekerja semaunya saja, tak peduli apa
yang dikerjakannya itu tidak sesuai dengan skala prioritas yang sudah
ditetapkan. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana
untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menjadi
sumber ketegangan atau tekanan.
Ungkapan jenaka yang terkandung di
dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi
kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu
yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.
3.4 Amun
bahujung bahinipan, amun rugi batumburan
(Ganie,
2007), jika dagang berlaba diam seribu bahasa, jika dagang merugi ribut
didengar orang sekampung.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku buruk manusia. Ketika berhasil meraih laba (sukses) ia tidak
mau berbagi, tetapi ketika merugi (terpuruk dalam kesusahan) ia tanpa malu-malu
kasak-kusuk meminta bantuan ke sana ke mari. Perilaku buruk semacam ini tidak
disukai orang karena menyimpang dari kebiasaan manusia pada umumnya. Berdasarkan
bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan
sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata
lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk
ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.
Makna
Bahujung arti harfiahnya memperoleh laba. Namun bisa pula sebagai kiasan untuk menyebut seseorang yang berhasi meraih suatu kesuksesan dalam hidupnya. Sebaliknya rugi arti harfiahnya mengalami kerugian. Namun bisa pula sebagai kiasan gagal meraih sukses. Jika sukses ia ingin menikmati sendiri kesuksesannya itu, sebaliknya jika gagal ia berusaha melibatkan orang orang lain untuk mengatasinya. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan
ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang berperilaku buruk. Ketika sukses
ia sengaja menutupi kesuksesannya, tetapi ketika terpuruk ia kasak-kusuk meminta
bantuan kesana ke mari. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator
sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap
menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Ungkapan jenaka yang terkandung di
dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator menyimpang dari kebiasaan, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator
negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap
menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
3.5 Amun
cacing bapadah cacing, amun tadung bapadah tadung (Ganie, 2007), jika cacing mengaku
cacing, jika ular mengaku ular.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa-kata menjadi sebuah kalimat
yang berisi kisahan tentang terbongkarnya suatu rahasia yang selama ini
tertutup rapat. Cacing yang mengaku tadung
(ular kobra) ternyata cuma cacing, atau sebaliknya tadung yang mengaku cacing ternyata justru tadung. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk
jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni
peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau,
berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.
Makna
Cacing melambangkan seseorang yang
secara sosial tidak membahayakan. Sebaliknya, tadung melambangkan seseorang yang secara sosial sangat
membahayakan. Sehubungan dengan alasan-alasan tertentu, seseorang bisa saja
memiliki identitas ganda. Sekali waktu mengaku cacing, dan pada waktu yang lain
mengaku tadung. Konteks makna
peribahasa Banjar di atas adalah terbongkarnya identitas ganda. Makna ungkapan
jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan,
hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan
ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang tak berkutik di hadapan publik
karena rahasia identitas gandanya terbongkar habis. Suka tidak suka ia terpaksa
harus mengakui identitasnya yang sejati. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu
yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Ungkapan jenaka yang terkandung di
dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi
kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu
yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
3.6 Amun maminta tangan bapanjang, amun mambari tangan bahandap (Ganie, 2007), jika meminta panjang tangan, jika memberi pendek tangan.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku buruk seorang oknum manusia. Ketika meminta selalu
bersemangat, tetapi ketika harus memberi lantas berubah sikap menjadi loyo tak
bersemangat (ogah-ogahan). Perilaku buruk semacam ini tidak disukai orang
karena menyimpang dari kebiasaan manusia pada umumnya. Berdasarkan bentuknya
peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu
huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana
retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara
(alat pertahanan diri). Bentuk
ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.
Makna
Tangan
bapanjang artinya
tangan menjadi bertambah panjang, tangan
bahandap artinya tangan menjadi pendek. Suka menerima bantuan orang lain
(menjengkau sehabis tangan), tetapi tidak mau membalas bantuan itu dengan
setimpal (mengulur sesingkat-singkat tangan). Makna ungkapan jenaka di atas
merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan,
kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk orang yang suka meminta, tapi tidak suka memberi. Orang yang suka mementingkan diri sendiri (egois), selalu ingin menang sendiri. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Ungkapan jenaka yang terkandung di
dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator menyimpang dari kebiasaan, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator
negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap
menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
3.7 Bidawang
bahintalu basusunyian, hayam bahintalu batumburan (Ganie, 2007) penyu bertelur bersunyi-sunyi, ayam
bertelur riuh rendah.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku dua orang manusia yang saling berbeda watak pribadinya. Manusia
berwatak bidawang (penyu) digambarkan
sebagai manusia yang tak suka membangga-banggakan prestasinya. Sebaliknya
manusia berwatak hayam (ayam) digambarkan sebagai manusia yang suka
membangga-banggakan prestasinya. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di
atas termasuk jenis pamiu huhulutan
(pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk
bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan
diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas
merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.
Makna
Bidawang melambangkan
perilaku manusia yang tak suka membanggakan diri, dan hayam melambangkan perilaku manusia yang suka membanggakan diri. Metafora
binatang yang menjadi fokus kejenakaan dalam peribahasa Banjar di atas adalah hayam. Manusia berwatak hayam didiskreditkan sebagai manusia
dengan perilaku menyimpang dari kebiasaan manusia pada umumnya. Makna ungkapan
jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan,
hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan
ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang berperilaku buruk (manusia
berwatak ayam), yakni orang yang suka membangga-banggakan prestasinya ke
mana-mana. Padahal, prestasinya itu tidaklah seberapa, masih ada orang lain
yang jauh lebih berprestasi, cuma orang itu tidak suka membangga-banggakan
prestasinya (manusia berwatak penyu). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu
yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.
3.8 Di atas ular di bawah walut (Ganie, 2007), di atas ular di bawah belut.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa-kata menjadi sebuah kalimat
yang berisi kisahan tentang terbongkarnya suatu rahasia yang selama ini
tertutup rapat. Ular melambangkan seseorang yang selama ini dikenal sebagai
sosok kharismatis yang selalu membanggakan asal-usul genetiknya yang istimewa
sebagai keturunan bangsawan berdarah biru yang kaya raya, dan berkuasa.
Ternyata, setelah diusut-usut terbongkarlah fakta rahasia bahwa yang
bersangkutan sejatinya adalah keturunan rakyat jelata, yang tidak kaya raya,
dan tidak pula berkuasa (tidak lebih dari seekor walut belaka). Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas
termasuk jenis pamiu huhulutan
(pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk
bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan
diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas
merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.
Makna
Ular melambangkan manusia yang secara
genetik memiliki garis keturunan sebagai bangsawan berdarah biru yang kaya
raya, dan berkuasa. Walut (belut)
melambangkan manusia yang secara genetik memiliki garis keturunan sebagai seorang
rakyat jelata yang berdarah abu-abu (tidak jelas), tidak kaya raya, dan tidak
memiliki kekuasaan apa-apa. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada
indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan
olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan
ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang tak berkutik di hadapan publik
karena rahasia identitas palsunya terbongkar habis. Akibatnya ia terpaksa
menerima nasib hidup sebagai pecundang. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu
yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Ungkapan jenaka yang terkandung di
dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi
kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu
yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
3.9
Mahadang bulan dua (Ganie, 2007),
(Ganie, 2007), menunggu sampai bulan dua biji.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Suatu hal yang
mustahil. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni
peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau,
berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator ketidaklogisan (kemustahilan).
Makna
Bulan
dua
(bulan dua) melambangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi di muka bumi ini.
Sejak dulu hingga sekarang bulan yang timbul di langit tetap satu, tak pernah
dua. Mahadang bulan dua, artinya
menunggu sampai bulan dua biji. Ungkapan ini merujuk kepada segala sesuatu yang
tak mungkin terjadi (suatu hal yang mustahil). Dalam konteks peribahasa Banjar
di atas merujuk kepada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang tak pasti. Ungkapan
jenaka ini biasanya diucapkan dengan nada jengkel oleh seorang penagih utang
(yang dimaksud bukan penagih utang bayaran, tetapi pemilik piutang) kepada
seseorang yang tak kunjung membayar utangnya. Makna ungkapan jenaka di atas
merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan,
kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang suka mengulur-ulur waktu pembayaran utangnya. Ia tak kunjung membayar utangnya. Waktu pembayaran utang yang dijanjikannya selalu meleset. Ia cuma mengumbar janji palsu dari waktu ke waktu. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ia baru membayar utangnya nanti bulan terbit dua biji di langit. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
3.10
Mahadang kucing batanduk (Ganie, 2007),
menunggu kucing bertanduk.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Suatu hal yang
mustahil. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni
peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau,
berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator ketidaklogisan (kemustahilan).
Makna
Kucing
batanduk
(kucing bertanduk) melambangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi di muka bumi
ini. Mahadang kucing batanduk,
artinya menunggu sampai kucing bertanduk. Ungkapan ini merujuk kepada segala
sesuatu yang tak mungkin terjadi (suatu hal yang mustahil). Dalam konteks
peribahasa Banjar di atas merujuk kepada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang
tak pasti. Ungkapan jenaka ini biasanya diucapkan dengan nada jengkel oleh
seorang penagih utang (yang dimaksud bukan penagih utang bayaran, tetapi
pemilik piutang) kepada seseorang yang tak kunjung membayar utangnya. Makna
ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa
celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang suka mengulur-ulur waktu pembayaran utangnya. Ia tak kunjung membayar utangnya. Waktu pembayaran utang yang dijanjikannya selalu meleset. Ia cuma mengumbar janji palsu dari waktu ke waktu. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ia baru membayar utangnya nanti setelah kucingnya bertanduk. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
3.11 Nang
luka dagu nang dibabat siku (Ganie, 2007), yang luka siku, yang
dibalut dagu.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku buruk manusia yang suka bekerja semaunya saja (tidak
profesional) akibatnya terjadilah malpraktik (kesalahan kerja). Berdasarkan
bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan
sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata
lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk
ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang
tersembunyi.
Makna
Luka melambangkan
masalah yang harus segera di atasi (dibabat).
Dagu melambangkan tempat kejadian perkara (TKP) atau lokasi terjadinya masalah.
Namun, karena bekerja tidak profesional, maka masalah yang diselesaikannya
(yang dibabatnya (dibebat olehnya)
bukanlah masalah yang terjadi di TKP (dagu) tetapi yang terjadi di luar TKP
(siku). Akibatnya terjadilah malpraktek (kesalahan kerja), karena masalah
utamanya tidak segera diatasi (luka tidak segera dibebat), maka bagian tubuh
yang luka itu menjadi bengkak dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.
Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni
berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan ini
merupakan olok-olok untuk seseorang yang bekerja semaunya saja, tidak
profesional, sehingga menimbulkan masalah yang tidak diinginkan (terjadi
malpraktik). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana
untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menjadi
sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.
3.12 Panjang
tali panjang lagi muntung manusia (Ganie, 2007), panjang tali panjang
lagi mulut manusia.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa
Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan
tentang perilaku buruk manusia yang suka menggunjing. Berdasarkan bentuknya
peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu
huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana
retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara
(alat pertahanan diri). Bentuk
ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang
tersembunyi.
Makna
Panjang
lagi muntung manusia melambangkan
manusia yang suka bergunjing. Objek gunjingan yang pada mulanya cuma diketahui
oleh segelintir orang, bisa segera tersebar luas melalui mulut ke mulut. Jika
panjang tali bisa dibatasi, maka tidak ada orang yang mampu membatasi mulut
manusia agar tidak saling menggunjing. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk
kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan
olok-olokan.
Fungsi
Pamiu
huhulutan ini
merupakan olok-olok untuk orang-orang yang suka menggunjing menyebar luaskan
berita yang belum tentu kebenarannya (cuma gosip murahan yang tidak bernilai
informasi apa-apa). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator
sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap
menjadi sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.
Ungkapan jenaka yang terkandung di
dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan
indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi
kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu
yang dianggap sebagai sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.
4 Penutup
Penelitian atas segala aspek yang
terkandung dalam peribahasa Banjar masih perlu dilakukan oleh para penelitian
lain pada masa-masa yang datang, karena masih banyak aspek-aspek lainnya itu
yang belum pernah diteliti.
Instansi pemerintah yang tugas pokok
dan fungsinya bersentuhan dengan masalah penyelamatan dan pelestarian
peribahasa Banjar disarankan untuk lebih aktif lagi melakukan kegiatan
penyelamatan dan pelestarian peribahasa Banjar pada masa-masa yang akan datang.
Jika tidak, peribahasa Banjar dimaksud akan punah tak berbisa sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Wiwiek Dwi. 2006. Wacana Humor Tertulis : Kajian Tindak
Tutur. Jakarta : Pusat Bahasa.
Echol, John M., dan Hassan Shadily.
1997 a. Kamus Indonesia Inggeris.
Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Edisi III. Cetaskan V.
Echol, John M., dan Hassan Shadily.
1997 b. Kamus Inggeris Indonesia.
Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Cetakan XXIII.
Ganie, Tajuddin Noor. 2010. Kamus Peribahasa Banjar. Banjarmasin :
Rumah Pustaka Folklor Banjar.
Hasanuddin WS dkk. 2007. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung :
Titian Ilmu.
Hapip, Abdul Jebbar. 2001. Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin :
Penerbit Grafika Wangi Kalimantan. Cetakan
Ulang Edisi III.
Machmud dkk. 1994. Humor dalam Sastra Klasik Sulawesi Selatan.
Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar.
1996. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional
Bahasa Banjar. Jilid I A-J. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah
Kalimantan Selatan.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar.
1998. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional
Bahasa Banjar. Jilid I K-W. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah
Kalimantan Selatan.
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta :
Gadjahmada University Press.
Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :
Penerbit Balai Pustaka.
Widarti Pradopo dkk, Sri. 1987. Humor dalam Sastra Jawa. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rahmanadji, Didiek. 2001. Sejarah, Teori, Jenis, dan Fungsi Humor. Malang
:
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung :
Pustaka Setia. Cetakan I.
Saleh, M. Idwar. 1984. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan.
Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Kanwil
Depdikbud Kalsel. Cetakan .
Setiawan, Arwah. 1990. Teori Humor. Jakarta : Majalah Astaga. Nomor 3 Tahun III.
Tim Pusat Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
BIOGRAFI
TAJUDDIN NOOR GANIE
Tajuddin Noor
Ganie, M.Pd. (TNG) dilahirkan di kota Banjarmasin pada tanggal 1 Juli
1958. Sarjana S.1 PBSID STKIP PGRI
Banjarmasin (2002), dan Sarjana S.2
PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (lulus dengan
predikat sangat memuaskan).
Bekerja
sebagai dosen tamu di PBSID STKIP PGRI Banjarmasin. Selain itu juga aktif
mengelola Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalsel Banjarmasin,
dan Rumah Pustaka Karya Sastra (RKS) Banjarmasin.
Daftar buku
yang Sudah diterbitkan:
1. BULU TANGAN,
Antologi Puisi, ISBN 978.602.7514.13.3 Tuas Media Kertak Hanyar
2. JAGAD PUISI
INDONESIA DI KALIMANTAN SELATAN 1930-1942, Sejarah sastra, ISBN
978.602.7514.20.1 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
3. LEGENDA AWI
TADUNG DAN ULAR BUNTUNG, Antologi Cerita Rakyat, ISBN 978.602.7514.14.5 Pewnerbit Tuas Media
Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
4. MASA LALU DI
BANJARBARU , Antologi Cerpen, ISBN 978.602.7514.10.2 Penerbit Tuas Media Kertak
Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
5. SASIRANGAN
KAIN KHAS TANAH BANJAR, Sejarah Kain Sasirangan, ISBN . 978.602.7514.11.9 Penerbit Tuas Media
Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
6. SASTRA BANJAR
GENRE LAMA BERCORAK PUISI, Sastra Banjar, ISBN 978.602.7514.05.8 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten
Banjar, Kalsel
7. SEJARAH
KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR, Sejarah Orang Banjar, ISBN 978.602.7514.04.1
Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
8. SEJARAH LOKAL
KESUSATRAAN INDONESIA DI KALSEL 1930-1942, Sejarah Sastra, ISBN
978.602.7514.08.9 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
9. TEGAKNYA
MASJID KAMI, Novel, ISBN 978.602.7514.01.0 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar,
Kabupaten Banjar, Kalsel
10.
TEORI
PUISI MODERN INDONESIA, Tajuddin Noor Ganie, ISBN 978.602.7514.21.8 Penerbit
Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
11.
TEORI
MENULIS CERPEN, ISBN 976.602.7514.17.1
Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
12.
TEORI
MENULIS PUISI, ISBN 978.602.98648.6.1 Pustaka Banua Banjarmasin
13.
TRAGEDI
INTAN TRISAKTI, Sejarah Intan, Tajuddin Noor Ganie, ISBN 978.602. 7514.02.7
Tuas Media Kertak Hanyar
Alamat Rumah :
Jalan Mayjen
Soetoyo S,
Gang Sepakat
RT 13 Nomor 30,
Banjarmasin,
70119
Telepon Rumah
(0511) 4424304
Telepon Selular
: 08195188521
Email :
tajuddinnoorganie@yahoo. co.id