Selasa, 12 November 2013

UNGKAPAN JENAKA DALAM PERIBAHASA BANJAR



Oleh Tajuddin Noor Ganie

1 Pendahuluan
Peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik (merujuk pada suatu formula bentuk tertentu), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan (Ganie, 2008:v)
Peribahasa Banjar dikenal secara umum sebagai seperangkat kota kata bahasa Banjar yang berisi ajaran nilai-nilai budaya luhur yang diacu dan berlaku di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Sejak zaman dahulu kala, susunan kata-kata khas yang bersifat anonim ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Mula-mula diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut (oral), tetapi kemudian diwariskan dengan cara dituliskan, yakni setelah orang Banjar mengenal huruf Arab (sejak 1526) dan huruf Latin (sejak 1860).
Ketika melakukan pekerjaan menyusun entri/lema Kamus Peribahasa Banjar (2010) penulis menemukan banyak sekali susunan kata-kata formulaik yang membentuk peribahasa Banjar yang secara teoretis memenuhi kriteria sebagai ungkapan jenaka. Bentuk ungkapan jenaka yang dimaksud dalam makalah ini adalah susunan kata-kata yang dapat membangkitkan kelucuan, sehingga sering dijadikan sebagai sarana retorika untuk membangkitkan kelucuan di kalangan etnis Banjar.

2 Teori Humor atau Jenaka
2.1 Etimologi dan Definisi
Dalam makalah ini istilah jenaka tidak dibedakan dengan istilah humor, sebaliknya malah disetarakan satu sama lainnya. Penyetaraan kedua istilah ini dimaksudkan agar penulis dapat merujuk semua teori humor yang sudah dipaparkan orang selama ini sebagai sarana ilmiah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar.
Referensi yang dirujuk sebagai dasar pembenar untuk menyetarakan istilah jenaka dan humor dalam penelitian ini adalah Kamus Indonesia Inggeris (1997 a) dan Kamus Inggeris Indonesia (1997 b) susunan Echols dan Shadily. Istilah jenaka dalam kamus dimaksud disetarakan dengan istilah funny dan humorous dalam bahasa Inggeris (1997.a:241).
1.  Funny diartikan sebagai cerita jenaka atau cerita komik (1997.b:20)
2.  Humorous  diartikan sebagai kejenakaan atau kelucuan (1997.b:306)
Menurut Rani (1996:287) dan Hasanuddin WS, dkk. (2007:378), istilah jenaka merujuk kepada pengertian lucu atau dapat membangkitkan kelucuan.
Humor menurut Hasannuddin WS, dkk. (2007:332) merujuk kepada pengertian
1.  Kejenakaan yang menimbulkan kesenangan, dan
2.  Kecakapan melihat, memahami, atau mengutarakan sesuatu yang menyenangkan atau menerbitkan tertawa.
Istilah humor menurut Rahmanadji (2010:1) berasal dari bahasa Latin umor, artinya cairan. Menurut teori purba di zaman Plato, di dalam tubuh manusia mengalir 4 jenis cairan (umor) yang dapat memengaruhi suasana hati manusia yang bersangkutan, yakni darah (sanguis), lendir (phleghm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy).
Seseorang yang sedang bersuka cita diyakini sebagai orang yang cairan tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut darah. Dominasi cairan darah itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya ketika itu. Orang yang sedang bersuka cita akan berbicara dengan kosa kata yang menyenangkan hati lawan bicara. Bahasa tubuhnya juga menarik untuk dipandang mata, yakni selalu tersenyum manis atau bahkan tertawa lepas. Selain itu, yang bersangkutan juga menjadi seseorang yang jenaka (humoris), yakni lebih kreatif mengolah dan memahami humor.  
Seseorang yang pemarah (tempramental) diyakini sebagai orang yang cairan tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut empedu kuning. Dominasi cairan empedu kuning itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya sehingga yang bersangkutan menjadi bersifat tempamental. Orang yang sedang marah akan berbicara dengan kosa kata yang ketus dan bahasa tubuhnya membuat orang lain merasa terancam (takut) sehingga cenderung mengambil sikap menjaga jarak dengannya.
Seseorang yang sedang bermuram durja diyakini sebagai orang yang cairan tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut empedu hitam. Dominasi cairan empedu hitam itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya ketika itu. Orang yang sedang bermuram durja akan berbicara dengan kosa kata yang memelas. Bahasa tubuhnya juga membuat orang lain menjadi trenyuh melihatnya (suka melamun).
Seseorang yang selalu bersikap tenang diyakini sebagai orang yang cairan di dalam tubuhnya didominasi oleh cairan yang disebut lendir. Dominasi cairan lendir itulah yang diyakini memengaruhi suasana hatinya sehingga selalu bersikap tenang. Orang yang seperti ini selalu berbicara dengan kosa kata yang lemah lembut. Bahasa tubuhnya membuat orang yang melihatnya merasa terlindungi sehingga merasa betah berada di sisinya.
Humor adalah keadaan (di dalam cerita) yang menggelikan hati (Poerwadarminta, 1976:365). Pengertian humor pada masa sekarang ini merujuk kepada semua hal yang secara umum dianggap lucu, tanpa membedakan apakah kelucuan itu membuat orang terhibur atau sebaliknya membuat orang sakit hati (Pradopo dkk, 1987:129).
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1997:361) dinyatakan bahwa humor adalah keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati, kejenakaan, dan kelucuan. Orang yang memiliki rasa humor tinggi disebut humoris, yakni orang yang mudah tersenyum atau bahkan tertawa lepas setiap kali mendengar sesuatu yang lucu.
Humor adalah kecakapan dalam melihat, memakai, atau mengutarakan kejenakaan sehingga menjadi sesuatu yang menyenagkan, menggelitik, dan menimbulkan peristiwa tertawa. Kejenakaan sendiri identik dengan pengutaraan keanehan, kemustahilan dalam hal suasana, dan kemustahilan dalam hal lakuan tertentu.
Pengertian istilah humor yang paling awam menurut Rahmanadji (2010:3) ialah sesuatu yang lucu, yang menimbulkan kegelian atau tawa. Humor identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang membuat orang tertawa.
Menurut Mahmud dkk (1994:83-92), ada 7 dasar yang menjadi penyebab timbulnya humor, yakni.
1.  Menyimpang dari kebiasaan
2.  Distorsi (pemutarbalikan)
3.  Ketidaklogisan (kemustahilan)
4.  Kesalahanpahaman tokoh
5.  Terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi
6.  Kecerdikan dan kelihaian tokoh
7.  Perlawanan atas situasi

 2.2 Makna Humor
Secara semantik masalah humor menurut Astuti (2006:2) berpusat pada ambiguitas yang dilaksanakan dengan cara mempertentangkan dua makna yang mungkin, yakni antara makna pertama (M.1) dengan makna kedua (M2). Para penikmat humor (pembaca, pendengar, atau penonton) menikmati kelucuan dengan tertawa sebagai tandanya, jika ia salah dalam memilih makna yang mungkin itu.
Sedangkan secara pragmatik masalah humor menurut Astuti (2006:2) pada hakikatnya adalah penyimpangan dua jenis implikatur, yakni implikatur konvensional (menyangkut makna bentuk-bentuk linguistik), dan inplikatur penuturan (menyangkut elemen-elemen wacana yang harus mematuhi prinsip-prinsip dasar percakapan.
Berdasarkan paparan teoretis di atas, ini berarti humor tidak hanya sekadar penyimpangan semantis pada tataran bahasa saja, tetapi juga penyimpangan terhadap kaidah-kaidah pragmatik.
Aple (1985:14) di dalam Rustono (1998:44) menyatakan bahwa humor adalah segala bentuk rangsangan, baik verbal maupun nonverbal, yang berpotensi memancing senyuman atau tertawaan para penikmat humor (pembaca, pendengar, atau penonton). Rangsangan dimaksud merupakan segala bentuk tingkah laku manusia yang dapat menimbulkan rasa gembira, geli, atau lucu pada pihak penikmat humornya (pembaca, pendengar, atau penonton).
Monro (1998:47) dalam Rustono (1998:51) menyatakan bahwa ada 10 penyebab terjadinya humor, yakni.
1.  Pelanggaran terhadap sesuatu yang biasa
2.  Pelanggaran terlarang atas sesuatu atau atas suatu peristiwa biasa
3.  Ketidaksenonohan
4.  Kemustahilan
5.  Permainan kata
6.  Bualan
7.  Kemalangan
8.  Pengetahuan, pemikiran, dan keahlian
9.  Penghinaan terselubung
10.   Pemasukan sesuatu ke dalam situasi lain.
Pada kasus-kasus tertentu, proses produksi humor, kelucuan, atau kejenakaan didukung atau ditopang oleh ekspresi wajah dan bahasa tubuh pelaku (gestur).

2.3 Fungsi-fungsi Humor
Menurut Astuti (2006:2), humor lisan atau humor tulis berfungsi sebagai wacana hiburan dan wahana kritik sosial.
Koestler menyatakan bahwa humor hanyalah satu bentuk komunikasi yang di dalamnya terdapat suatu stimulus pada suatu tingkat kompleksitas tinggi menghasilkan respon yang teramalkan dan tiruan pada refleks psikologis (menurut Suprana, 1995:9 dalam Rustono, 1998:46).
Rustono (1998:47) mengemukakan bahwa humor itu hanya sebuah alat yang fungsi dan nilainya sangat tergantung pada tujuan dan pemanfaatan oleh pemakainya.
Semua jenis humor pada dasarnya saling memengaruhi dan memiliki persamaan dalam hal menimbulkan gelak tawa sebagai efeknya (Mahmud dkk, 1994:5-7). Menurut Mahmud dkk (1994::83-92), ada 3 teori tentang peristiwa tertawa yang berkaitan dengan fungsi humor, yakni.
1.  Teori superioritas dan degradasi,
2.  Teori penyimpangan frustasi dalam harapan dan bisosiasi, dan
3.  Teori pelepasan atau pembebasan dari ketegangan atau tekanan.
Peristiwa tertawa menurut teori superioritas dan degradasi terjadi sebagai akibat adanya peristiwa di luar kebiasaan pada umumnya. Termasuk dalam lingkup ini adalah segala sesuatu yang menyalahi aturan (lebih jelek atau lebih rendah). Pihak yang menertawakan berada pada posisi tawar lebih tinggi (superioritas). Sementara pihak yang ditertawakan berada pada posisi tawar yang lebih rendah (degradasi). Fungsi humor menurut teori ini identik dengan aktivitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.
Peristiwa tertawa menurut teori penyimpangan frustasi dalam harapan dan biosiasi terjadi sebagai akibat adanya peristiwa yang bersifat bisosiasi. Fenomena yang termasuk dalam lingkup bisosiasi ini ada 3, yakni.
1.  Terjadinya dua situasi berbeda yang musykil atau mustahil dapat terjadi secara bersamaan pada ruang dan waktu yang sama
2.  Terjadinya penyimpangan antara konsep dan objek, dan
3.  Terjadinya peloncatan yang terjadi tiba-tiba dari satu konteks ke kontek lainnya.
Fungsi humor menurut teori ini identik dengan aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Peristiwa tertawa menurut teori pelepasan atau pembebasan ketegangan atau tekanan  terjadi sebagai akibat adanya peristiwa salah paham dalam suatu tindakan komunikasi verbal dan nonverbal (miskomunikasi antarindividu). Fungsi humor menurut teori ini identik dengan aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap sebagai sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.

3 Ungkapan Jenaka dalam Peribahasa Banjar
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar akan penulis paparkan berdasarkan teori-teori bentuk humor, makna humor, dan fungsi  humor sebagaimana yang dipaparkan di atas.

3.1 Ada kada manambahi hitungan, kada ada kada mangurangi hitungan (Ganie, 2007), ada tidak membuat lebih, tidak ada tidak membuat kurang.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang seseorang yang tidak mempunyai manfaat sosial apa-apa. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.

Makna
Ada atau tidak ada dirinya, situasinya akan sama saja, kehadirannya tidak akan menambah kekuatan, dan sebaliknya ketidak-hadirannya juga tidak akan mengurangi kekuatan. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.

Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang keberadaannya tidak diperhitungkan orang. Kehadirannya sebagai anggota masyarakat tidak  memberikan kontribusi apa-apa. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah. 

        Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator menyimpang dari kebiasaan, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.

3.2 Burung pipit handak jadi burung anggang (Ganie, 2007), burung pipit hendak menjadi burung enggang.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku buruk seorang manusia yang berwatak burung pipit. Burung pipit dalam konteks peribahasa Banjar di atas melambangkan manusia yang mempunyai kemampuan terbatas, namun ia mempunyai ambisi yang tak terbatas, yakni ingin menjadi burung anggang (enggang). Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator ketidaklogisan (kemustahilan).

Makna
Burung pipit melambangkan manusia yang lemah secara fisik (berpostur tubuh kecil). Namun, dalam konteks peribahasa Banjar di atas maknanya bisa diperluas menjadi lemah secara finansial (berkemampuan ekonomi lemah), dan lemah secara sosial (tidak mempunyai kekuasaan apa-apa). Burung anggang melambangkan manusia yang kuat secara fisik (memiliki postur tubuh lebih besar dibandingkan burung pipit). Namun, dalam konteks peribahasa Banjar di atas maknanya bisa diperluas menjadi lebih kuat secara finansial (berkemampuan ekonomi lebih mapan), dan lebih kuat secara sosial (mempunyai kekuasaan yang lebih kuat).
Burung pipit dalam peribahasa Banjar di atas dipergunakan sebagai lambang untuk menggambarkan manusia yang berambisi besar (ingin menjadi burung enggang). Sudah pasti, ambisi besarnya itu mustahil bisa diraihnya karena tidak didukung secara fisik, finansial, dan kekuasaan. Namun ironisnya, dalam kehidupan kesehariannya, manusia berwatak burung pipit ini justru suka sekali berlagak sok kaya dan sok kuasa. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi

Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang suka berlagak. Orang yang lemah secara fisik, tapi suka berlagak sok kuat. Orang miskin yang suka berlagak kaya, atau orang rendahan (tidak berkuasa) yang suka berlagak seperti pejabat tinggi (berkuasa). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.

        Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator ketidak-logisan (kemustahilan), (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.

3.3 Lain nang digawi lain nang dikarja (Ganie, 2006), yang dikerjakan bukan yang mendesak harus diselesaikan.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku buruk manusia yang bekerja semaunya saja tidak sesuai dengan skala prioritas yang sudah ditetapkan. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.
Makna
Gawi dan karja dalam bahasa Banjar merujuk kepada makna yang sama, yakni kerja. Makna peribahasa Banjar di atas merujuk kepada seseorang yang bekerja semaunya saja tanpa menghiraukan skala prioritas yang sudah ditetapkan. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang bekerja semaunya saja, tak peduli apa yang dikerjakannya itu tidak sesuai dengan skala prioritas yang sudah ditetapkan. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menjadi sumber ketegangan atau tekanan.

Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah.

3.4 Amun bahujung bahinipan, amun rugi batumburan (Ganie, 2007), jika dagang berlaba diam seribu bahasa, jika dagang merugi ribut didengar orang sekampung.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku buruk manusia. Ketika berhasil meraih laba (sukses) ia tidak mau berbagi, tetapi ketika merugi (terpuruk dalam kesusahan) ia tanpa malu-malu kasak-kusuk meminta bantuan ke sana ke mari. Perilaku buruk semacam ini tidak disukai orang karena menyimpang dari kebiasaan manusia pada umumnya. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.

Makna

Bahujung arti harfiahnya memperoleh laba. Namun bisa pula sebagai kiasan untuk menyebut seseorang yang berhasi meraih suatu kesuksesan dalam hidupnya. Sebaliknya rugi arti harfiahnya mengalami kerugian. Namun bisa pula sebagai kiasan gagal meraih sukses. Jika sukses ia ingin menikmati sendiri kesuksesannya itu, sebaliknya jika gagal ia berusaha melibatkan orang orang lain untuk mengatasinya. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.

Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang berperilaku buruk. Ketika sukses ia sengaja menutupi kesuksesannya, tetapi ketika terpuruk ia kasak-kusuk meminta bantuan kesana ke mari. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.  
Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator menyimpang dari kebiasaan, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.

3.5 Amun cacing bapadah cacing, amun tadung bapadah tadung (Ganie, 2007), jika cacing mengaku cacing, jika ular mengaku ular.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa-kata menjadi sebuah kalimat yang berisi kisahan tentang terbongkarnya suatu rahasia yang selama ini tertutup rapat. Cacing yang mengaku tadung (ular kobra) ternyata cuma cacing, atau sebaliknya tadung yang mengaku cacing ternyata justru tadung. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.

Makna
Cacing melambangkan seseorang yang secara sosial tidak membahayakan. Sebaliknya, tadung melambangkan seseorang yang secara sosial sangat membahayakan. Sehubungan dengan alasan-alasan tertentu, seseorang bisa saja memiliki identitas ganda. Sekali waktu mengaku cacing, dan pada waktu yang lain mengaku tadung. Konteks makna peribahasa Banjar di atas adalah terbongkarnya identitas ganda. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang tak berkutik di hadapan publik karena rahasia identitas gandanya terbongkar habis. Suka tidak suka ia terpaksa harus mengakui identitasnya yang sejati. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.
Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.

3.6 Amun maminta tangan bapanjang, amun mambari tangan bahandap (Ganie, 2007), jika meminta panjang tangan, jika memberi pendek tangan.

 Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku buruk seorang oknum manusia. Ketika meminta selalu bersemangat, tetapi ketika harus memberi lantas berubah sikap menjadi loyo tak bersemangat (ogah-ogahan). Perilaku buruk semacam ini tidak disukai orang karena menyimpang dari kebiasaan manusia pada umumnya. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.

Makna
Tangan bapanjang artinya tangan menjadi bertambah panjang, tangan bahandap artinya tangan menjadi pendek. Suka menerima bantuan orang lain (menjengkau sehabis tangan), tetapi tidak mau membalas bantuan itu dengan setimpal (mengulur sesingkat-singkat tangan). Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.

Fungsi

Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk orang yang suka meminta, tapi tidak suka memberi. Orang yang suka mementingkan diri sendiri (egois), selalu ingin menang sendiri. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan. 

Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator menyimpang dari kebiasaan, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.

3.7 Bidawang bahintalu basusunyian, hayam bahintalu batumburan (Ganie, 2007) penyu bertelur bersunyi-sunyi, ayam bertelur riuh rendah.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku dua orang manusia yang saling berbeda watak pribadinya. Manusia berwatak bidawang (penyu) digambarkan sebagai manusia yang tak suka membangga-banggakan prestasinya. Sebaliknya manusia berwatak hayam (ayam) digambarkan sebagai manusia yang suka membangga-banggakan prestasinya. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator menyimpang dari kebiasaan.

Makna
Bidawang melambangkan perilaku manusia yang tak suka membanggakan diri, dan hayam melambangkan perilaku manusia yang suka membanggakan diri. Metafora binatang yang menjadi fokus kejenakaan dalam peribahasa Banjar di atas adalah hayam. Manusia berwatak hayam didiskreditkan sebagai manusia dengan perilaku menyimpang dari kebiasaan manusia pada umumnya. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.

Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang berperilaku buruk (manusia berwatak ayam), yakni orang yang suka membangga-banggakan prestasinya ke mana-mana. Padahal, prestasinya itu tidaklah seberapa, masih ada orang lain yang jauh lebih berprestasi, cuma orang itu tidak suka membangga-banggakan prestasinya (manusia berwatak penyu). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap lebih jelek atau lebih rendah. 

 3.8 Di atas ular di bawah walut (Ganie, 2007), di atas ular di bawah belut.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa-kata menjadi sebuah kalimat yang berisi kisahan tentang terbongkarnya suatu rahasia yang selama ini tertutup rapat. Ular melambangkan seseorang yang selama ini dikenal sebagai sosok kharismatis yang selalu membanggakan asal-usul genetiknya yang istimewa sebagai keturunan bangsawan berdarah biru yang kaya raya, dan berkuasa. Ternyata, setelah diusut-usut terbongkarlah fakta rahasia bahwa yang bersangkutan sejatinya adalah keturunan rakyat jelata, yang tidak kaya raya, dan tidak pula berkuasa (tidak lebih dari seekor walut belaka). Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.

Makna
Ular melambangkan manusia yang secara genetik memiliki garis keturunan sebagai bangsawan berdarah biru yang kaya raya, dan berkuasa. Walut (belut) melambangkan manusia yang secara genetik memiliki garis keturunan sebagai seorang rakyat jelata yang berdarah abu-abu (tidak jelas), tidak kaya raya, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.

Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang tak berkutik di hadapan publik karena rahasia identitas palsunya terbongkar habis. Akibatnya ia terpaksa menerima nasib hidup sebagai pecundang. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.

Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.

 3.9 Mahadang bulan dua (Ganie, 2007), (Ganie, 2007), menunggu sampai bulan dua biji.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Suatu hal yang mustahil. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator ketidaklogisan (kemustahilan).

 Makna
Bulan dua (bulan dua) melambangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi di muka bumi ini. Sejak dulu hingga sekarang bulan yang timbul di langit tetap satu, tak pernah dua. Mahadang bulan dua, artinya menunggu sampai bulan dua biji. Ungkapan ini merujuk kepada segala sesuatu yang tak mungkin terjadi (suatu hal yang mustahil). Dalam konteks peribahasa Banjar di atas merujuk kepada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang tak pasti. Ungkapan jenaka ini biasanya diucapkan dengan nada jengkel oleh seorang penagih utang (yang dimaksud bukan penagih utang bayaran, tetapi pemilik piutang) kepada seseorang yang tak kunjung membayar utangnya. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi

Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang suka mengulur-ulur waktu pembayaran utangnya. Ia tak kunjung membayar utangnya. Waktu pembayaran utang yang dijanjikannya selalu meleset. Ia cuma mengumbar janji palsu dari waktu ke waktu. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ia baru membayar utangnya nanti bulan terbit dua biji di langit. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.


3.10 Mahadang kucing batanduk (Ganie, 2007), menunggu kucing bertanduk.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Suatu hal yang mustahil. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator ketidaklogisan (kemustahilan).

Makna
Kucing batanduk (kucing bertanduk) melambangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi di muka bumi ini. Mahadang kucing batanduk, artinya menunggu sampai kucing bertanduk. Ungkapan ini merujuk kepada segala sesuatu yang tak mungkin terjadi (suatu hal yang mustahil). Dalam konteks peribahasa Banjar di atas merujuk kepada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang tak pasti. Ungkapan jenaka ini biasanya diucapkan dengan nada jengkel oleh seorang penagih utang (yang dimaksud bukan penagih utang bayaran, tetapi pemilik piutang) kepada seseorang yang tak kunjung membayar utangnya. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi

Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang suka mengulur-ulur waktu pembayaran utangnya. Ia tak kunjung membayar utangnya. Waktu pembayaran utang yang dijanjikannya selalu meleset. Ia cuma mengumbar janji palsu dari waktu ke waktu. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ia baru membayar utangnya nanti setelah kucingnya bertanduk. Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari segala sesuatu yang diharapkan.


3.11 Nang luka dagu nang dibabat siku (Ganie, 2007), yang luka siku, yang dibalut dagu.

Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku buruk manusia yang suka bekerja semaunya saja (tidak profesional) akibatnya terjadilah malpraktik (kesalahan kerja). Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.


Makna
Luka melambangkan masalah yang harus segera di atasi (dibabat). Dagu melambangkan tempat kejadian perkara (TKP) atau lokasi terjadinya masalah. Namun, karena bekerja tidak profesional, maka masalah yang diselesaikannya (yang dibabatnya (dibebat olehnya) bukanlah masalah yang terjadi di TKP (dagu) tetapi yang terjadi di luar TKP (siku). Akibatnya terjadilah malpraktek (kesalahan kerja), karena masalah utamanya tidak segera diatasi (luka tidak segera dibebat), maka bagian tubuh yang luka itu menjadi bengkak dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk seseorang yang bekerja semaunya saja, tidak profesional, sehingga menimbulkan masalah yang tidak diinginkan (terjadi malpraktik). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menjadi sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.

3.12 Panjang tali panjang lagi muntung manusia (Ganie, 2007), panjang tali panjang lagi mulut manusia.
Bentuk
Ungkapan jenaka dalam peribahasa Banjar di atas dibentuk dengan cara menyusun kosa kata yang berisi kisahan tentang perilaku buruk manusia yang suka menggunjing. Berdasarkan bentuknya peribahasa Banjar di atas termasuk jenis pamiu huhulutan (pameo), yakni peribahasa Banjar yang digunakan sebagai sarana retorika untuk bergurau, berolok-olok, dan mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Bentuk ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi.

Makna
Panjang lagi muntung manusia melambangkan manusia yang suka bergunjing. Objek gunjingan yang pada mulanya cuma diketahui oleh segelintir orang, bisa segera tersebar luas melalui mulut ke mulut. Jika panjang tali bisa dibatasi, maka tidak ada orang yang mampu membatasi mulut manusia agar tidak saling menggunjing. Makna ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator konotasi negatif, yakni berupa celaan, hinaan, kritikan, dan olok-olokan.
Fungsi
Pamiu huhulutan ini merupakan olok-olok untuk orang-orang yang suka menggunjing menyebar luaskan berita yang belum tentu kebenarannya (cuma gosip murahan yang tidak bernilai informasi apa-apa). Fungsi ungkapan jenaka di atas merujuk kepada indikator sarana untuk menunjang aktifitas menertawakan segala sesuatu yang dianggap menjadi sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.
Ungkapan jenaka yang terkandung di dalam peribahasa Banjar di atas merujuk kepada: (1) bentuk yang identik dengan indikator terbongkarnya sesuatu yang tersembunyi, (2) maknanya berkonotasi kepada indikator negatif, dan (3) fungsinya untuk menertawakan segala sesuatu yang dianggap sebagai sumber ketegangan atau tekanan itu sendiri.

4 Penutup
Penelitian atas segala aspek yang terkandung dalam peribahasa Banjar masih perlu dilakukan oleh para penelitian lain pada masa-masa yang datang, karena masih banyak aspek-aspek lainnya itu yang belum pernah diteliti.
Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya bersentuhan dengan masalah penyelamatan dan pelestarian peribahasa Banjar disarankan untuk lebih aktif lagi melakukan kegiatan penyelamatan dan pelestarian peribahasa Banjar pada masa-masa yang akan datang. Jika tidak, peribahasa Banjar dimaksud akan punah tak berbisa sama sekali.     

 

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Wiwiek Dwi. 2006. Wacana Humor Tertulis : Kajian Tindak Tutur. Jakarta : Pusat Bahasa. 
Echol, John M., dan Hassan Shadily. 1997 a. Kamus Indonesia Inggeris. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Edisi III. Cetaskan V.
Echol, John M., dan Hassan Shadily. 1997 b. Kamus Inggeris Indonesia. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Cetakan XXIII. 
Ganie, Tajuddin Noor. 2010. Kamus Peribahasa Banjar. Banjarmasin : Rumah Pustaka Folklor Banjar.
Hasanuddin WS dkk. 2007. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung : Titian Ilmu.
Hapip, Abdul Jebbar. 2001. Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin : Penerbit Grafika Wangi Kalimantan. Cetakan  Ulang Edisi III.
Machmud dkk. 1994. Humor dalam Sastra Klasik Sulawesi Selatan. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar. 1996. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar. Jilid I A-J. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar. 1998. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar. Jilid I K-W. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan.
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.
Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.
Widarti Pradopo dkk, Sri. 1987. Humor dalam Sastra Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rahmanadji, Didiek. 2001. Sejarah, Teori, Jenis, dan Fungsi Humor. Malang :
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.  Cetakan I.
Saleh, M. Idwar. 1984. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Kanwil Depdikbud Kalsel. Cetakan .
Setiawan, Arwah. 1990. Teori Humor. Jakarta : Majalah Astaga. Nomor 3 Tahun III.
Tim Pusat Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


 BIOGRAFI TAJUDDIN NOOR GANIE
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. (TNG) dilahirkan di kota Banjarmasin pada tanggal 1 Juli 1958.  Sarjana S.1 PBSID STKIP PGRI Banjarmasin (2002), dan Sarjana S.2  PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (lulus dengan predikat sangat memuaskan).

Bekerja sebagai dosen tamu di PBSID STKIP PGRI Banjarmasin. Selain itu juga aktif mengelola Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalsel Banjarmasin, dan Rumah Pustaka Karya Sastra (RKS) Banjarmasin. 

Daftar buku yang Sudah diterbitkan:
1.  BULU TANGAN, Antologi Puisi, ISBN 978.602.7514.13.3 Tuas Media Kertak Hanyar
2.  JAGAD PUISI INDONESIA DI KALIMANTAN SELATAN 1930-1942, Sejarah sastra, ISBN 978.602.7514.20.1 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
3.  LEGENDA AWI TADUNG DAN ULAR BUNTUNG, Antologi Cerita Rakyat,  ISBN 978.602.7514.14.5 Pewnerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
4.  MASA LALU DI BANJARBARU , Antologi Cerpen, ISBN 978.602.7514.10.2 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
5.  SASIRANGAN KAIN KHAS TANAH BANJAR, Sejarah Kain Sasirangan,  ISBN . 978.602.7514.11.9 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
6.  SASTRA BANJAR GENRE LAMA BERCORAK PUISI, Sastra Banjar, ISBN 978.602.7514.05.8  Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
7.  SEJARAH KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR, Sejarah Orang Banjar, ISBN 978.602.7514.04.1 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
8.  SEJARAH LOKAL KESUSATRAAN INDONESIA DI KALSEL 1930-1942, Sejarah Sastra, ISBN 978.602.7514.08.9 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
9.  TEGAKNYA MASJID KAMI, Novel, ISBN 978.602.7514.01.0 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
10.                                                            TEORI PUISI MODERN INDONESIA, Tajuddin Noor Ganie, ISBN 978.602.7514.21.8 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
11.                                                            TEORI MENULIS CERPEN,  ISBN 976.602.7514.17.1 Penerbit Tuas Media Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalsel
12.                                                            TEORI MENULIS PUISI, ISBN 978.602.98648.6.1 Pustaka Banua Banjarmasin
13.                                                                                                                                              TRAGEDI INTAN TRISAKTI, Sejarah Intan, Tajuddin Noor Ganie, ISBN 978.602. 7514.02.7 Tuas Media Kertak Hanyar

Alamat Rumah :
Jalan Mayjen Soetoyo S,
Gang Sepakat RT 13 Nomor 30,
Banjarmasin, 70119
Telepon Rumah (0511) 4424304
Telepon Selular : 08195188521
Email : tajuddinnoorganie@yahoo. co.id