Selasa, 12 November 2013

KANDUNGAN NILAI LUHUR BUDAYA BANJAR DALAM PERIBAHASA BANJAR



Oleh Tajuddin Noor Ganie

Latar Belakang
Istilah nilai luhur merupakan gabungan dua kata, yakni nilai dan luhur. Gabungan dua kata ini melahirkan makna leksikal baru yang relative berbeda dengan makna leksikal ketika masing-masing kata masih berdiri sendiri. 
Nilai adalah harga, ukuran, atau angka yang mewakili prestasi, sifat-sifat penting yang berguna bagi manusia, dalam menjalani hidupnya (Daryanto SS, 1997:445). Nilai adalah sesuatu yang penting atau hal-hal yang berguna bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra (Hasanuddin WS dkk, 2007:542).
Luhur (a), artinya: (1)mulia, dan (2)  tinggi (Daryanto SS, 1997:408). Padanannya, luhung (a), artinya: (1) agung, (2) luhur, (3) mulia, dan (4) tinggi (Daryanto SS, 1997:408). Berdasarkan paparan dimaksud, nilai luhur artinya adalah angka, harga, atau ukuran yang diagungkan, dimuliakan, atau ditinggikan derajatnya oleh setiap anggota masyarakat yang menjadi pendukungnya.
Sementara itu, istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti akal atau budi. Dari pengertian itu, budaya atau kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal atau budi (Hasanuddin WS dkk, 2007:134). Tylor membuat definisi tentang kebudayaan, yaitu suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan segala kemampuan atau kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (dalam Hasannuddin WS dkk, 2007:134).
Budaya Banjar artinya adalah segala hal yang berkaitan dengan akal budi yang merujuk kepada etnis Banjar. Termasuk dalam lingkup segala hal dimaksud antara lain: (1) pengetahuan, (2) keyakinan, (3) kesenian, (4) moral, (5) hokum, (6) adat istiadat, dan (7) segala kemampuan atau kebiasaaan yang identik dengan etnis Banjar.
Koentjaraningrat membedakan wujud kebudayaan dalam tiga macam, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ketiganya terdapat dalam unsur kebudayaan yang universal, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencahartian, sistem religi, dan kesenian (dalam Hasanuddin WS dkk, 2007:134).    

Nilai luhur budaya adalah wujud ideal dari suatu kebudayaan. Wujud ideal merupakan sesuatu yang abstrak dan mencakup ruang lingkup yang luas. Dalam wujud ideal itu terdapat ide-ide atau hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi serupa itu pada umumnya luas dan kabur, tetapi berakar dalam bagian-bagian emosional dari alam jiwa manusia (Koentjaraningrat, 1990:11).
Berdasarkan paparan tentang nilai, luhur, dan budaya di atas, maka secara analog nilai luhur budaya Banjar dapat didefinisikan dengan rumusan sebagai berikut: keseluruhan hasil olahan akal budi manusia bersuku Banjar yang secara umum telah disepakati sebagai patokan harga, ukuran, atau angka yang mewakili prestasi, sifat-sifat penting yang berguna dalam kehidupan keseharian di lingkungan masyarakat Banjar di Kalsel.
Setiap suku bangsa di tanah air kita memiliki kekayaan tradisi lisan yang disebut peribahasa. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah istilah local yang digunakan untuk menyebutnya, yakni: Ca Oca-an (Madura), Narit Maja (Aceh), Parantuk Kana (Bugis), Paribasa (Banjar), Paribasan (Jawa), Peribahasa (Melayu), Sisindiran (Sunda),  dan Umpasa (Batak Simalungun). Digunakannya istilah paribasa merupakan petunjuk bahwa masyarakat Banjar di Kalsel termasuk masyarakat berbudaya yang sudah memiliki sarana budaya yang disebut peribahasa.
Kridalaksana (1983:20) mengemukakan bahwa peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun temurun; dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran, atau pedoman hidup; mencakup bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan pameo. Sudjiman (1990) mengemukakan bahwa peribahasa atau proverb adalah ungkapan  yang ringkas padat yang berisi kebenaran yang wajar, prinsip hidup, dan aturan tingkah laku.
Peribahasa Banjar yang disebut paribasa (Hapip, 2001:137) ini secara harfiah artinya adalah peribahasa yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Ganie (2005:1) mendefinisikan peribahasa Banjar sebagai kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik (merujuk pada suatu formula bentuk tertentu), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Dengan paribasa sebagai sarananya, orang Banjar yang lebih tua usianya menasihati,  menegur, mengingatkan, dan menyindir seorang atau sekelompok orang yang telah berbuat salah terhadap dirinya, keluarganya, kelompoknya, atau masyarakat pada umumnya, tanpa takut menimbulkan konflik horizontal antara dirinya dengan pelaku pembuat kesalahan.
Lunde & Wintle (1984), Prihatin, Basuki, Yusuf & Slamet (2003), menurut Rifai (2007:7) berpendapat bahwa jalan pintas untuk memahami segala sesuatu tentang suatu bangsa atau suatu budaya adalah dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa dalam arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunannya serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalin kehidupan bermasyarakat. 
Nilai luhur budaya suku bangsa merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak. Dalam hal ini identik dengan segala sesuatu yang ada di dalam alam pikiran sebagian besar anggota suku bangsa itu sendiri. Mereka menganggapnya sebagai segala sesuatu yang berharga, bernilai, dan penting, sehingga dapat difungsikan sebagai pedoman atau pemberi arahan dalam kehidupan suku bangsa itu sendiri (Koentjaraningrat, 2011:153).
Walaupun nilai luhur budaya suku bangsa berfungsi sebagai pedoman hidup, tetapi sebagai konsep, nilai luhur budaya suku bangsa itu sesungguhnya bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara nyata dan rasional. Namun, justru karena sifatnya yang demikian itu, maka nilai-nilai luhur budaya suku bangsa berada dalam wilayah emosional para anggota suku bangsa. Selain itu, para individu anggota suku bangsa sejak dini telah diresapi dengan nilai luhur budaya suku bangsanya. Sehingga konsep-konsep nilai luhur budaya suku bangsa dimaksud sudah sejak dini berakar tunjang dalam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai luhur budaya suku bangsa tidak dapat diganti dengan nilai-nilai luhur budaya suku bangsa lainnya dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 2011:153).  
Inti kebudayaan setiap masyarakat adalah system nilai yang dianut oleh masyarakat pendukung kebudayaan bersangkutan. System nilai tersebut mencakup konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap buruk (sehingga harus dihindari), dan apa yang dianggap baik (sehingga harus selalu dianut). Dengan demikian, dikenal pembedaan antara nilai-nilai yang positif dengan nilai-nilai yang negative (Soekanto, 2012:166).

Nilai-nilai luhur budaya Banjar
Peribahasa Banjar termasuk susunan kata-kata yang ditata dengan tendensi pemuatan nilai-nilai luhur tertentu dalam kebudayaan Banjar. Karakteristik nilai luhur peribahasa Banjar menurut Ganie (2005): patokan-patokan normatif atau konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan perbuatan.

Ragam/jenis nilai luhur budaya suku bangsa ada 4, yakni: nilai religius, nilai filofis, nilai etis, dan nilai estetis.

(1) Nilai Religius
Agama adalah sumber nilai yang secara hakiki memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan semua orientasi nilai lainnya. Hal ini disebabkan karena nilai agama bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana, 2004:35).
Gie (2004:115) menyebutnya nilai kekudusan (holiness), yakni nilai yang berasal dari tindakan universal yang dilakukan manusia untuk mengejar suatu tujuan agung menyangkut hajat hidup atau kepentingan seluruh umat manusia
Dalam kehidupan manusia, nilai religius diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk berikut ini:
1.     Pemujaan (worship) kepada Tuhan
2.     Pengukuhan (affirmation) diri dalam kelompok masyarakat religius
3.     Persaudaraan (fellowship) dalam pergaulan dengan anggota kelompok masyrakat religius
4.     Kepastian (assurance) dalam keyakinan bahwa di balik dunia yang fana ini ada Tuhan yang patut disembah
5.     Harapan (hope) dalam perasaan bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan.
Agama mempunyai pengaruh besar di dalam membentuk kepribadian seorang individu. Bahkan adanya berbagai mazhab di dalam satu agama pun melahirkan pula kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya )Soekanto, 2012:165).
Masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar sejak tahun-tahun pertama berdirinya kerajaan baru ini menjadi embrio masuknya nilai-nilai relegius Islami ke dalam identitas budaya masyarakat Banjar. Penamaan Banjar untuk suku bangsa ini sendiri juga berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Banjar yang didirikan oleh Sultan Suriansyah, 24 September 1526. Dalam hal ini orang Banjar artinya adalah warga negara Kerajaan Banjar.
Istilah itu langsung merosot acuannya dari warga negara Kerajaan Banjar menjadi nama suku bangsa. Hal ini terjadi sejak Kerajaan Banjar dihapuskan keberadaannya secara sepihak melalui surat keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, 1860. Tahun 1945, ketika Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah bekas Kerajaan Banjar ini secara otomatis diintegrasikan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republic Indonesia karena statusnya sebagai bekas wilayah jajahan pemerintah colonial Belanda.     
Sejak awal masyarakat Banjar sudah identik dengan agama Islam, karena sejak awal pula Kerajaan Banjar dibangun dengan mengusung ajaran agama Islam sebagai ideologynya. Fakta historis ini membuat nilai-nilai relegius Islami mulai merasuk ke dalam sendi-sendi peribahasa Banjar. Ajaran agama Islam menjadi latar belakang genetic dari sejumlah peribahasa Banjar yang mengandung nilai religiusitas Islami.
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai religious
Ada hari ada nasi (Ganie, 2007, 2013:4), di mana ada hari di sana masih ada nasi. Mamang Papadah ini merupakan nasihat bahwa selama masih ada umur (hari) pasti masih ada rezeki (nasi) untuknya. Hari merujuk kepada umur manusia, sementara nasi merujuk kepada rezeki.
Ada nyawa ada rajaki (Ganie, 2007, 2013:6), ada umur ada rezeki. Mamang Papadah ini merupakan nasihat bahwa selama masih ada umur (nyawa) pasti masih ada rezeki (rajaki) untuknya. Nyawa merujuk kepada umur manusia, sementara rajaki merujuk kepada rezeki.
Allahhu wahdah, inya mambari kada bawadah, inya maambil kada bapadah (Makkie dan Seman, 1996:11), ungkapan tersebut bermakna Allah Maha Esa, Dia memberi ni’mat kepada hamba-Nya tidak terhitung, Dia mengambil ni’mat dari hamba-Nya tidak memberitahu. Unghkapan tersebut untuk mengingatkan manusia bahwa Allah Yang Maha Esa berbuat sekehendak-Nya. Oleh karena itu kita sebagai hambanya harus bersyukur dan selalu ingat kepada-Nya. Bersyukur atas segala ni’mat yang telah diberikan-Nya kepada kita, ingat bahwa pada suatu saat yang tidak diketahui, nyawa kita akan diambil dan kembali ke hadirat-Nya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan kita.
Allah ta’ala batata haja (Ganie, 2007, 2013:13), Allah Ta’ala Zat Yang Maha Mengetahui Segalanya akan menata segala sesuatunya dengan adil dan sempurna. Papadah ini merupakan nasihat agar kita menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. Jangan berkecil hati, mintalah keadilan kepada-Nya setiap kali kita dizalimi orang. 
Habis akal hanyar tawakal (Ganie, 2007), habis akal baru tawakal. Papadah ini merupakan nasihat agar segala sesuatu dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan jangan lupa pula berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah swt (bertawakal).

Habis ihtiar habis tawakal (Ganie, 2007), habis ikhtiar, habis tawakal. Mamang Papadah ini merupakan nasihat agar dalam mengerjakan suatu pekerjaan kita hendaknya mengerahkan segala kemampuan yang ada pada kita. Selain itu juga dinasihatkan agar kita jangan lupa berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah swt (bertawakal).

Habis ihtiar hanyar tawakal (Ganie, 2007), habis ikhtiar, baru tawakal. Papadah ini merupakan nasihat agar dalam mengerjakan suatu pekerjaan kita hendaknya mengerahkan segala kemampuan yang ada pada kita. Sehabis itu kita juga dinasihatkan agar  jangan lupa berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah swt (bertawakal).

Hulat dalam batu gin ada rajakinya (Makkie dan Seman, 1996:52). Orang Banjar dikenal sebagai sebagai orang yang kuat dan taat dalam menjalankan ibadah agama (Islam), memiliki keimanan yang teguh. Memiliki keyakinan bahwa Allah Swt satu-satunya zat Yang Maha Kuasa yang memberikan reziki kepada seluruh makhluk di mana pun dan kapanpun. Setiap makhluk yang melata di muka bumi ini, telah ditentukan Allah Swt rezekinya. Jangankan manusia, ulat dalam batu sekalipun diberi oleh Allah Swt. Oleh karena itu setiap orang jangan merasa khawatir tentang rezekinya, di mana pun dan kapan pun dia berada. Peribahasa ini merupakan nasihat afar tidak putus asa dalam berusaha.      

(2) Nilai Filosofis
Nilai filosofis disebut juga sebagai nilai teoretis, yakni nilai yang diwujudkan sebagai hasil dari pertimbangan logis dan rasional dalam konteks membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik memiliki kadar benar atau salah menurut pertimbangan akal pikiran, sehingga nilai teoretik ini erat sekali kaitannya dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori, dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatandan pembuktian ilmiah (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana, 2004:33).
Nilai filosofis juga identik dengan nilai kebenaran (truth), nilai ini berasal dari pengetahuan manusia yang bercorak abstrak dan intelektual (pengetahuan dalam lingkup akal manusia). Nilai kebenaran mewujudkan dirinya menjadi nilai intelektual (nilai ilmu) yang dalam kehidupan manusia diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk berikut ini
1      Pengetahuan (intelektual dan inderawi)
2      Pencarian kebenaran (ilmiah dan logis)
(Gie, 2004:116)
Nilai filosofis dalam peribahasa Banjar mengacu pada hasil pertimbangan logis dan rasional yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dalam konteks membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai filosofis memiliki kadar benar atau salah menurut pertimbangan akal pikiran, sehingga nilai filosofis erat sekali kaitannya dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori, dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatan dan pembuktian ilmiah. Nilai filosofis dalam peribahasa Banjar juga identik dengan nilai kebenaran (truth), nilai ini berasal dari pengetahuan manusia yang bercorak abstrak dan intelektual (pengetahuan dalam lingkup akal manusia).
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai filosofis:
Asal mambawa bujur lawan banar, salamat (Makkie dan Seman, 1996:14-15), seseorang yang mempunyai sikap lurus (bujur) dan benar (banar), pasti akan selamat. Semua orang akan berpihak kepada yang benar. Peribahasa yang bersifat nasihat ini biasanya diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang akamn pergi merantau, dia menasihati supaya berbuat lurus dan benar agar selamat di negeri orang. Peribahasa yang sama maksudnya ialah: asal membawa bujur lawan banar, parang bungkul gin kada tadas, artinya: asal berbuat lurus dan benar parang bungkul (senjata tajam) pun tidak mempan.
Kuduk kada mati, ular kada kanyang (Makkie dan Seman, 1998:33), Kodok (kuduk) adalah sejenis binatang makanan ular. Jika kodok dimakan ular, kodok akan mati dan ular akan kenyang. Sebaliknya jika kodok tidak tidak mati, maka ular tidak akan kenyang. Peribahasa ini dikiaskan kepada dua pihak yang ingin menyelesaikan suatu masalah dengan prinsip saling menguntungkan. Biasanya ada pihak ketiga yang membantu mencarikan pemecahannya. Dengan berbagai pendekatan akhirnya diotemukan kesepakatan di antara kedua belah pihak di mana masing-masing pihak merasa puas atas keputusan yang diambil.
Lain danau lain iwaknya (Makkie dan Seman, 1998:38), di dalam setiap danau hidup berbagai jenis ikan (iwak), namun antara danua yang satu dengan yang lain mungkin terdapat perbedaan jenis atau bentuk ikan-ikan tersebut. Ungkapan ini dikiaskan kepada daerah yang mempunyai adat istiadat atau budaya masing-masing penduduknya, sehingga antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam hal-hal tertentu mempunyai cirri sendiri-sendiri, namun terdapat pula persamaan secara umum, sebagaimana kehidupan ikan-ikan di setiap danau yang diungkapkan dengan peribahasa tersebut di atas.
Lain danau lain iwaknya (Makkie dan Seman, 1998:38), di dalam setiap danau hidup berbagai jenis ikan (iwak), namun antara danua yang satu dengan yang lain mungkin terdapat perbedaan jenis atau bentuk ikan-ikan tersebut. Ungkapan ini dikiaskan kepada daerah yang mempunyai adat istiadat atau budaya masing-masing penduduknya, sehingga antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam hal-hal tertentu mempunyai cirri sendiri-sendiri, namun terdapat pula persamaan secara umum, sebagaimana kehidupan ikan-ikan di setiaop danau yang diungkapkan dengan peribahasa tersebut di atas.
Salapik sakaguringan, sabantal sakalang hulu (Makkie dan Seman, 1998:69), berarti tidur bersama dalam satu kasur dan satu bantal. Ungkapan ini melukiskan dua orang yang bersahabatb sangat akrab, begitu akrabnya persahabatan mereka, sehingga keduanya selalu bersama dan sulit dipisahkan. Senang sama senang, susah sama susah. Ungkapan yang sama maknanya disebutkan pula: samuak saliur atau sarantang saruntung.
Sapuluh batang batindih, bilungka jua nang ramuknya (Makkie dan Seman, 1998:70), bilungka (mentimun) sejenis buah yang lemah, gampang pecah, gampang pecah jika terjatuh, tertindih, atau tertimpa benda keras. Apabila bilungka berada di bawah benda-benda keras maka sudah pasti bilungka tersebut akan pecah atau hancur (rimik). Peribahasa ini dikiaskan kepada rakyat kecil yang selalu menerima akibat dari suatu kebijakan atau pertentangan yang terjadi di kalangan atas atau pemimpin. Akibatnya rakyat kecillah yang akan menerima kerugian. Peribahasa ini menggambarkan bahwa rakyat kecil tetap berada pada posisi yang lemah. Peribahasa yang sama gajah bakalahi pilanduk nang mati.
Satu karja dua gawi (Makkie dan Seman, 1998:71), biasanya orang melaksanakan satu pekerjaan kemudian baru mengerjakan yang lain. Tetapi ada pula orang yang bias melaksanakan dua pekerjaan sekaligus, misalnya seorang yang sedang menggali saluran di sawah dapat sekaligus menggunakan tanah galian tersebut untuk membuat galangan (tanggul) di sawah tersebut. Ungkapan ini mempunyai makna seseorang yang mempunyai keterampilan dan pandai memanfaatkan waktu, sehingga dapat memperoleh hasil ganda (maksimal). Hal semacam ini diungkapkan dengan satu karja dua gawi, atau sama artinya dengan sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui.
Sudah banyak makan uyah (Makkie dan Seman, 1998:73), uyah (garam) sangat diperlukan oleh manusia, tidak hanya untuk penyedap makanan, tetapi juga diperlukan untuk kesehatan. Sejak usia muda hingga tua manusia selalu memerlukan garam baik untuk makanan maupun kesehatan. Makin panjang usia seseorang, makin banyak memakan garam. Sudah banyak makan uyah dalam peribahasa ini maksudnya ialah untuk menggambarkan banyaknya pengalaman seseorang, banyak merasakan suka duka dalam kehidupan. Orang tua yang baik ialah orang tua yang suka memberikan atau pengalaman hidupnya kepada yang muda. Sebaliknya orang yang masih muda seharusnya menimba pengalaman dari orang yang lebih tua.
Surung kiwa sambut kanan (Makkie dan Seman, 1998:75), seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tangan dan diterima oleh seseorang lainnya dengan tangan pula. Ungkapan ini menggambarkan suatu negosiasi antara dua orang yang masing-masing mempunyai kepentingan, sehingga dlam waktu yang bersamaan maisng-masing pihak menyerahkan dan menerima sesuatu yang telah disepakati. Surung kiwa sambut kanan berarti memberikan dengan tangan kiri dan menerima dengan tangan kanan, maksudnya ialah tidak memakai perantara.
Timbul tinggalam kulabuni (Makkie dan Seman, 1998:88), timbul atau tenggelam adalah risiko pada saat kita berada di sungai atau di laut. Apabila timbul, hal itu berarti membawa hasil yang baik (selamat). Sebaliknya apabila tenggelam, hal iytu menunjukkan ketidakberhasilan atau kerugian (bahaya). Ungkapan di atas berarti suatu tekad perjuangan, selamat atau berbahaya tetap diperjuangkan. Ungkapan ini menggambarkan keberanian seseorang untuk mengambil risiko apapun, demi tercapainya suatu tujuan.
Wani manimbai, wani manajuni (Makkie dan Seman, 1998:97), bilamana seseorang menabur jala di sungai, bias saja jala tersebut terkait sesuatu di dalam air, orang tersebut mau tidak mau harus terjun ke dalam sungai itu nuntuk melepaskan jalanya yang terkait. Peribahasa ini dikiaskan kepada seseorang yang berani melakukan sesuatu yang berisiko harus berani pula menanggung akibatnya. Berani berbuat berani bertanggungjawab. Itulah maksud peribahasa ini.

(3) Nilai etis
Nilai etis adalah nilai yang di dalamnya memiliki konsekwensi tanggung jawab tertentu dalam konteks hubungan social yang harmonis di antara para individu. Nilai etis berkaitan dengan perilaku manusia yang didasarkan kepada kebebasan, tanggung jawab, dan kehati-hatian bersikap (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana, 2004:37).
Nilai etis atau nilai kebaikan (goodness), nilai ini berasal dari tindakan individual yang dilakukan manusia untuk mengejar suatu tujuan spesifik menyangkut hajat hidup atau kepentingan pribadinya sebagai manusia.  Nilai kebaikan mewujudkan dirinya menjadi nilai etis yang dalam kehidupan manusia diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk berikut ini
1.     Kearifan (wisdom)
2.     Ketabahan (courage)
3.     Pengendalian diri (discipline)
4.     Keadilan (justice)
5.     Kesediaan menolong (benevolence)
6.     Kemurahan hati (benignity)
7.     Kesetiaan (loyalty)
8.     Kejujuran (honesty)
9.     Kesederhanaan (temperance)
(Gie, 2004:115-116)
Nilai etis dalam peribahasa Banjar adalah nilai yang di dalamnya memiliki konsekwensi tanggung jawab tertentu dalam konteks hubungan social yang harmonis di antara para individu. Nilai etis berkaitan dengan perilaku manusia yang didasarkan kepada kebebasan, tanggung jawab, dan kehati-hatian bersikap. Nilai etis atau nilai kebaikan (goodness), nilai ini berasal dari tindakan individual yang dilakukan manusia untuk mengejar suatu tujuan spesifik menyangkut hajat hidup atau kepentingan pribadinya sebagai manusia. 
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai etis
Amun bapandir di bawah-bawah, amun mandi di hilir-hilir (Ganie, 2007, 2013:20), berbicara di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir. Mamang papadah ini berisi nasihat agar kita selalu bersikap rendah hati dan tidak suka menyombongkan diri.
Amun bapandir jangan di atas-atas, amun mandi jangan di hulu-hulu (Ganie, 2007, 2013:20), berbicara di atas-atas, mandi di hulu-hulu. Mamang papadah ini merupakan nasihata agar kita jangan bersikap tinggi hati dan suka menyombong diiri.
Amun bapandir jangan kada baapik (Ganie, 2007, 2013:20), jika berbicara harus hati-hati. Papadah ini berisi nasihat agar kita selalu berhati-hati dalam berbicara. Jangan sampai membuat orang lain tersinggung  sehingga membuatnya marah.
Amun bapandir jangan kada balapik (Ganie, 2007, 2013:20), jika bicara jangan sampai tak beralas. Papadah ini berisi nasihat agar kita hendaknya selalu berhati-hati dalam berkata-kata. Sedapat mungkin hindari penggunaan kata-kata yang langsung menusuk perasaan orang, gunakanlah kata-kata yang dengan halusnya dapat menyentuh perasaan orang.  
Baduduk sadang badiri sadang (Ganie, 2007, 2013:71), duduk cocok, berdiri cocok juga. Mamang papadah ini berisi nasihat agar kita selalu pandai menyesuaikan diri dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Lebih-lebih jika kita berstatus sebagai seorang pendatang atau orang baru di lingkungan masyarakat tempat tinggal kita. Dalam hal ini bersikaplah arif, yakni jangan terlalu meninggikan diri (berdiri terlalu tinggi) dan jangan pula terlalu merendahkan diri (duduk terlalu rendah).
Baduduk sama randah badiri sama tinggi (Ganie, 2007, 2013:71), duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Kiasan ini merupakan ungkapan untuk menggambarkan bahwa manusia di muka bumi pada dasarnya setingkat sederajat, tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi.
Jangan babungkun bapaluk tubuh (Ganie, 2007, 2013:303), jangan berselimut sarung sambil memeluk tubuh sendiri. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan suka bermalas-malasan, tidur mendengkur, dalam keadaan menganggur, atau tidak sedang bekerja mencari nafkah. Babungkun (berselimut sarung) dan bapaluk tubuh (berpeluk tubuh) melambangkan bahasa tubuh orang tidur yang berkonotasi kepada kemalasan.

Jangan baigal di pahumaan urang (Ganie, 2007, 2013:306), jangan menari di sawah milik orang. Papadah ini berisi nasihat agar kita jangan sampai berbuat aniaya atau berbuat zalim kepada orang lain.  

Jangan balarut banyu bagawi (Ganie, 2007, 2013:308), jangan bekerja mengikuti arus. Papadah ini merupakan merupakan nasihat agar kita jangan lamban dalam mengerjakan sesuatu.
Jangan baludah ka atas, kaina taludahi muha saurang (Ganie, 2006), jangan meludah ke atas nanti terkena wajah sendiri. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan coba-coba mengeritik atasannya karena risikonya terludahi wajah sendiri.
Jangan barungkau di hadapan rajaki ganal (Ganie, 2007, 2013:310), jangan berkelahi di depan rezeki besar. Papadah ini merupakan nasihat untuk dua orang bersaudara agar jangan berkelahi ketika sedang makan bersama. Rajaki ganal (rezeki besar) merujuk kepada nasi yang siap disantap.
Jangan buruk sikuan (Ganie, 2007, 2013:312), jangan sampai siku berkudis. Papadah ini berisi nasihat agar kita jangan menarik kembali barang-barang yang sudah kita berikan kepada orang lain.
Jangan buta tuli (Ganie, 2007, 2013:312), jangan buta tuli. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jang bersikap acuh tak acuh, tidak mau ambil peduli, atau tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang terjadi di sekeliling kita (karena secara sosial kita sudah seharusnya mempedulikannya atau memperhatikannya)
Jangan calungap sandukan (Ganie, 2007, 2013:312), jangan sambar hirup sandukan. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan ikut menanggapi pembicaraan orang lain  tanpa permisi sama sekali, karena sikap seperti itu termasuk perilaku buruk yang sangat memalukan. Ungkapan calungap sandukan sendiri merujuk kepada perilaku buruk manusia yang langsung menyambar dan menghirup kuah sayur yang masih ada di dalam senduk.  
Jangan ganal pamandiran (Ganie, 2007, 2013:321), jangan besar jika bicara. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan suka menyombongkan diri.
Jangan hirang bapadah putih, putih bapadah hirang (Ganie, 2007, 2013:321), jangan hirang bilang putih, putih bilang hirang. Mamang papadah ini merupakan nasihat agar kita selalu bersikap jujur. Jangan mengubah-ubah identitas diri dengan sesuka hati.
Jangan kada ingat manyusur pinggir tapih (Ganie, 2007, 2013:324), jang lupa menelusuri tepi sarung. Papadah ini merupakan nasihat agar kita selalu melakukan intropeksi diri.
Jangan kada saukur mata lawan talinga (Ganie, 2007, 2013:324), jangan tidak seukur antara mata dengan telinga. Papadah ini merupakan nasihat agar kita selalu menyeimbangkan antara yang dilihat dengan yang didengar, begitu pula sebaliknya.

Jangan mahapak urang (Ganie, 2001, 2013:352),  jangan meremehkan orang. Papadah ini berisi nasihat agar kita sekali-kali meremehkan orang lain.

Jangan manajak bandira di kampung urang (Ganie, 2006, 2013:339), jangan memasang bendera di kampung orang. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan memaksakan diri menanam kharisma kekuasaan di kampung orang. Bandira (bendera) melambangkan kekuasaan.
Kaya manjuhut rambut di galapung (Makkie dan Seman, 1998:28), peribahasa ini selengkapnya berbunyi: kaya manjuhut rambut di galapung, rambut kada pagat, galapung kada tahambur. Peribahasa ini menggambarkan suatu cara yang sangat bijaksana dalam menyelesaikan suatu masalah, mungkin persengketaan atau perselisihan di antara dua pihak. Dengan cara yang bijaksana, musyawarah, dan mufakat, masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik di mana kedua belah pihak sama-sama merasa puas dan tidak merasa dirugikan.

(4) Nilai estetis
Nilai estetik adalah konsep nilai yang menempatkan bentuk dan keharmonisan  pada tingkatan nilai yang paling tinggi kadarnya. Ditinjau dari subyek yang memilikinya, nilai estetik merujuk pada nilai keindahan dan tidak indah (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana, 2004:34)
Nilai estetik juga lajim disebut sebagai nilai keindahan (beauty), nilai ini menurut Gie (2004:115-116) berasal dari pengetahuan manusia yang bercorak kongkret dan inderawi (pengetahuan dalam lingkup indera manusia). Nilai keindahan mewujudkan dirinya dalam kehidupan manusia yang dalam hal ini diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk berikut ini:
1.     Katagori yang agung dan elok
2.     Katagori yang komis dan tragis
3.     Katagori yang indah dan jelek
Nilai estetik dalam peribahasa Banjar mengacu pada konsep nilai yang menempatkan bentuk dan keharmonisan masyarakat Banjar pada tingkatan nilai yang paling tinggi kadarnya. Ditinjau dari subyek yang memilikinya, nilai estetik merujuk pada nilai keindahan dan tidak indah. Nilai estetik berasal dari pengetahuan manusia yang bercorak kongkret dan inderawi (pengetahuan dalam lingkup indera manusia).
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai estetik:

Bahindang bahindala (Makkie dan Seman, 1996:20),  suatu pemandangan yang menyolok karena warna dan cahaya yang berlebihan (menyala) atau sangat glamour. Pemandangan seperti itu dapat dijumpai pada pakaian, perhiasan, atau dekorasi, pakaian bintang film India atau film klasik.

Basa barinda (Makkie dan Seman, 1996:25),  barinda adalah bersulam, sehingga menimbulkan variasi dan dapat menarik minat atau perhatian orang lain, umumnya untuk sulaman pada selendang atau baju kebaya wanita. Berbahasa atau berbicara dengan pelbagai variasi dengan berbunga-bunga bahasa dapat menarik perhatian orang atau mungkin juga bias menjemukan orang. Ungkapan basa barinda ini merupakan kiasan seseorang yang pandai membuat variasi dalam percakapan.

Basa barinda (Makkie dan Seman, 1996:25),  barinda adalah bersulam, sehingga menimbulkan variasi dan dapat menarik minat atau perhatian orang lain, umumnya untuk sulaman pada selendang atau baju kebaya wanita. Berbahasa atau berbicara dengan pelbagai variasi dengan berbunga-bunga bahasa dapat menarik perhatian orang atau mungkin juga bias menjemukan orang. Ungkapan basa barinda ini merupakan kiasan seseorang yang pandai membuat variasi dalam percakapan.

Busuluh bintang (Makkie dan Seman, 1996:25),  peribahasa ini lahir di zaman belum ada penerangan listrik di jalan umum. Jalan-jalan di pedesaanb masih gelap gulita, kecualio bulan purnama. Bila orang berjalan pada malam hari biasanya memakai suluh (daun kelapa yang sudah kering diikat dan dinyalakan dengan api). Bagi orang yang tidak mempunyai suluh tersebut maka berjalan malam hari atau berjalan dalam gelap disebut basuluh bintang, artinya hanya bintang di langit yang menjadi petunjuk jalan. Ungkapan ini sering dijumpai dalam cerita percintaan.

Buah hati caramin mata (Makkie dan Seman, 1996:29),  hati adalah bagian penting dalam tubuh manusia, sedangkan cermin merupakan alat untuk melihat bayangan diri. Ungkapan ini adalah sebuah kiasan kepada seorang anak yang disayangi oleh ibu kandungnya. Buah hati mengandung arti bahwa anak adalah belahan jiwa, sedangkan caramin mata mengandung makna bahwa anak tersebut tak pernah lepas dari ingatannya atau bayangannya.

Dagu kaya kumbang bagantung (Makkie dan Seman, 1996:35),  wajah seorang wanita cantik selalu dikagumi dan dipuji. Bentuk dagu, mata, hidung, pipi, dahi, rambut, dan lain-lain dimisalkan dengan ungkapan yang indah. Peribahasa ini ingin menggambarkan bentuk dagu yang indah yang dikiaskan seperti kumbang bergantung

Dahi kaya bulan sahiris (Makkie dan Seman, 1996:36),  dahi atau jidat adalah bagian muka manusia. Seseorang yang mepunyai dahi lebar dinilai kurang bagus. Begitu pula bentuk dahi yang cembung, dalam bahasa Banjar disebut tungkung. Bulan sahiris (seiris) adalah semisal bulan sabit yang indah dan bersinar. Peribahasa ini menggambarkan seseorang yang memiliki bentuk dahi yang indah. Kalau disebut dahi kaya bulan sahiris, maka hal itu merupakan pujian bagi seorang wanita yang berwajah cantik.

Gigi kaya jagung babaris (Makkie dan Seman, 1996:44), yang dimaksud dengan jagung babaris di sini adalah biji jagung yang tersusun rapi, bersih, dan sehat. Kiasan ini menggambarkan bentuk dasn susunan gigi yang rapi, bersih, dan sehat.

Gulu langgak kaya minjangan bukah (Makkie dan Seman, 1996:45),  bila seekor menjangan lari lehernya tegak ke atas. Leher menjangan yang tegak ke atas dikiaskan kepada seseorang yang memiliki leher yang bagus, biasanya sesuai dengan bentuk tubuh yang semampai.

Hidung mancung kaya bawang sasihung (Makkie dan Seman, 1996:51), bentuk hidung seseorang yang mirip[ dengan bawang sesiung (berbentuk mancung), dimaksudkan untuk memuji seseorang yang mempunyai bentuk hidung yang bagus, biasanya untuk wanita.

Hidung mancung kaya bawang sasihung (Makkie dan Seman, 1996:51), bentuk hidung seseorang yang mirip[ dengan bawang sesiung (berbentuk mancung), dimaksudkan untuk memuji seseorang yang mempunyai bentuk hidung yang bagus, biasanya untuk wanita.

Hirang-hirang gula habang (Makkie dan Seman, 1996:51), gula merah ada yang berwarna agak kekuning-kuningan dan ada juga yang berwarna agak kehitam-hitaman. Keduanya memiliki rasa yang manis. Ungkapan di atas dikiaskan kepada seseorang yang berkulit hitam manis, baik dia seorang pria atau wanita.

Jariji manyugi landak (Makkie dan Seman, 1996:60), duri landak berbentuk panjang dan lancip serta berwarna putih. Jari seorang perempuan yang kecil-kecil dengan kuku-kuku yang terawatt bersih serta kulita yang berwarna putih, adalah suatu gambaran kebagusan yang dikiaskan dengan ungkapan tersebut. Kalau keadaan jari, kuku, dan kulit putih yang demikian bagus, maka biasanya seorangt perempuan itu adalah berparas cantik. Kiasan itu adalah suatu ungkapan yang bersifat pujian terhadap seorang perempuan.

RUJUKAN
Ganie, Tajuddin Noor, 2013. Kamus Peribahasa Banjar. A-K dan L-W. Banjarmasin: Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar. Rdisi 2013.
Gie, The Liang, 2004. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB). Cetakan II.
Ideham, Suriansyah. dkk. 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Penerbit Balitbangda Prov. Kalsel.. Cetakan II.
Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Edisi Revisi.
Keesing, Roger M., 1981. Samuel Gunawan (Penerjemah). Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Penerbit Erlangga. Edisi Kedua.
Mulyana, Rohmat, 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Penerbit Alfabeta. Cetakan I.
Soekanto, Soerjono, 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan ke 44.
File: Ceramah, 2013, Budaya Luhur

9 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Semua naskah yang ada di blog Peribahasa Banjar ini boleh dibaca, dan dikutip oleh siapa saja. Syaratnya mudah minta izin secara tertulis, minimal mengucapkan assalammualaikum, atau mengucapkan terima kasih secara tertulis di kolom komentar ini. Terima kasih. Kontak pribadi ganietajuddinnoor@yahoo.co.id

    BalasHapus
  3. assalamu'alaikum,, izin mengopi lah,, kna ulun sertakan juA sumbernya :),,, kalau buku ttg ni ada lah pak??

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum pak :) ulun ijin mengutip tulisan bapak

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaikum, ikut mengutip, pak

    BalasHapus
  6. Assalamu'alaikum, ikut mengutip, pak

    BalasHapus
  7. assalamualaikum, ikut mengutip ya pak. terima kasih kerana berkongsi infonya

    BalasHapus