Oleh Tajuddin Noor Ganie
Latar Belakang
Istilah
nilai luhur merupakan gabungan dua kata, yakni nilai dan luhur. Gabungan dua
kata ini melahirkan makna leksikal baru yang relative berbeda dengan makna
leksikal ketika masing-masing kata masih berdiri sendiri.
Nilai adalah
harga, ukuran, atau angka yang mewakili prestasi, sifat-sifat penting yang
berguna bagi manusia, dalam menjalani hidupnya (Daryanto SS, 1997:445). Nilai adalah sesuatu yang penting atau
hal-hal yang berguna bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran
dalam sebuah karya sastra (Hasanuddin WS dkk, 2007:542).
Luhur (a), artinya: (1)mulia, dan (2)
tinggi (Daryanto SS, 1997:408). Padanannya, luhung (a), artinya: (1)
agung, (2) luhur, (3) mulia, dan (4) tinggi (Daryanto SS, 1997:408). Berdasarkan
paparan dimaksud, nilai luhur artinya adalah angka, harga,
atau ukuran yang diagungkan, dimuliakan, atau ditinggikan derajatnya oleh setiap anggota
masyarakat yang menjadi pendukungnya.
Sementara itu, istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti akal atau budi. Dari
pengertian itu, budaya atau kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan akal atau budi (Hasanuddin WS dkk, 2007:134). Tylor
membuat definisi tentang kebudayaan,
yaitu suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan segala kemampuan atau kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (dalam Hasannuddin WS dkk,
2007:134).
Budaya Banjar artinya adalah segala hal yang berkaitan dengan akal budi
yang merujuk kepada etnis Banjar. Termasuk dalam lingkup segala hal dimaksud
antara lain: (1) pengetahuan, (2) keyakinan, (3) kesenian, (4) moral, (5)
hokum, (6) adat istiadat, dan (7) segala kemampuan atau kebiasaaan yang identik
dengan etnis Banjar.
Koentjaraningrat
membedakan wujud kebudayaan dalam tiga macam, yaitu (1) wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya, (2)
wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia. Ketiganya terdapat dalam unsur kebudayaan yang universal, yaitu
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencahartian, sistem religi, dan kesenian (dalam
Hasanuddin WS dkk, 2007:134).
Nilai luhur budaya adalah wujud ideal dari suatu kebudayaan. Wujud
ideal merupakan sesuatu yang abstrak dan mencakup ruang lingkup yang luas.
Dalam wujud ideal itu terdapat ide-ide atau hal-hal yang paling bernilai dalam
kehidupan masyarakat. Konsepsi serupa itu pada umumnya luas dan kabur, tetapi
berakar dalam bagian-bagian emosional dari alam jiwa manusia (Koentjaraningrat,
1990:11).
Berdasarkan
paparan tentang nilai, luhur, dan budaya di atas, maka secara analog nilai luhur budaya
Banjar dapat didefinisikan dengan rumusan
sebagai berikut: keseluruhan hasil olahan akal budi
manusia bersuku Banjar yang secara umum telah
disepakati sebagai patokan harga, ukuran, atau angka yang mewakili prestasi,
sifat-sifat penting yang berguna dalam kehidupan
keseharian di lingkungan masyarakat Banjar di Kalsel.
Setiap suku bangsa di tanah air kita memiliki kekayaan
tradisi lisan yang disebut peribahasa. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
sejumlah istilah local yang digunakan untuk menyebutnya, yakni: Ca Oca-an (Madura), Narit Maja (Aceh), Parantuk
Kana (Bugis), Paribasa (Banjar), Paribasan (Jawa), Peribahasa (Melayu), Sisindiran
(Sunda), dan Umpasa (Batak Simalungun). Digunakannya istilah paribasa merupakan petunjuk bahwa
masyarakat Banjar di Kalsel termasuk masyarakat berbudaya yang sudah memiliki
sarana budaya yang disebut peribahasa.
Kridalaksana (1983:20) mengemukakan bahwa peribahasa
adalah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan
fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun temurun; dipergunakan untuk penghias
karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran,
atau pedoman hidup; mencakup bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan pameo.
Sudjiman (1990) mengemukakan bahwa peribahasa atau proverb adalah ungkapan yang
ringkas padat yang berisi kebenaran yang wajar, prinsip hidup, dan aturan
tingkah laku.
Peribahasa
Banjar yang disebut paribasa (Hapip,
2001:137) ini secara harfiah artinya adalah peribahasa yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar. Ganie (2005:1) mendefinisikan peribahasa Banjar sebagai kalimat pendek dalam bahasa
Banjar yang pola susunan kata-katanya sudah tetap, bersifat formulaik (merujuk
pada suatu formula bentuk tertentu), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan
tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan
berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan
perulangan.
Dengan paribasa
sebagai sarananya, orang Banjar yang lebih tua usianya menasihati, menegur, mengingatkan, dan menyindir seorang
atau sekelompok orang yang telah berbuat salah terhadap dirinya, keluarganya,
kelompoknya, atau masyarakat pada umumnya, tanpa takut menimbulkan konflik
horizontal antara dirinya dengan pelaku pembuat kesalahan.
Lunde & Wintle (1984), Prihatin, Basuki, Yusuf
& Slamet (2003), menurut Rifai (2007:7) berpendapat bahwa jalan pintas
untuk memahami segala sesuatu tentang suatu bangsa atau suatu budaya adalah
dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. Kebenaran pendapat ini bertumpu
pada kenyataan bahwa dalam arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa,
atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunannya serta pemakaiannya, yang
(pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu
mengiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalin
kehidupan bermasyarakat.
Nilai luhur budaya suku bangsa merupakan
tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak. Dalam hal ini identik dengan
segala sesuatu yang ada di dalam alam pikiran sebagian besar anggota suku
bangsa itu sendiri. Mereka menganggapnya sebagai segala sesuatu yang berharga, bernilai,
dan penting, sehingga dapat difungsikan sebagai pedoman atau pemberi arahan
dalam kehidupan suku bangsa itu sendiri (Koentjaraningrat, 2011:153).
Walaupun nilai luhur budaya suku
bangsa berfungsi sebagai pedoman hidup, tetapi sebagai konsep, nilai luhur budaya
suku bangsa itu sesungguhnya bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara nyata dan rasional. Namun,
justru karena sifatnya yang demikian itu, maka nilai-nilai luhur budaya suku
bangsa berada dalam wilayah emosional para anggota suku bangsa. Selain itu,
para individu anggota suku bangsa sejak dini telah diresapi dengan nilai luhur budaya
suku bangsanya. Sehingga konsep-konsep nilai luhur budaya suku bangsa dimaksud sudah
sejak dini berakar tunjang dalam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai luhur
budaya suku bangsa tidak dapat diganti dengan nilai-nilai luhur budaya suku
bangsa lainnya dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 2011:153).
Inti kebudayaan setiap masyarakat adalah system nilai
yang dianut oleh masyarakat pendukung kebudayaan bersangkutan. System nilai
tersebut mencakup konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap buruk
(sehingga harus dihindari), dan apa yang dianggap baik (sehingga harus selalu
dianut). Dengan demikian, dikenal pembedaan antara nilai-nilai yang positif
dengan nilai-nilai yang negative (Soekanto, 2012:166).
Nilai-nilai
luhur budaya Banjar
Peribahasa Banjar termasuk susunan
kata-kata yang ditata dengan tendensi pemuatan nilai-nilai luhur tertentu dalam
kebudayaan Banjar. Karakteristik nilai luhur peribahasa Banjar menurut Ganie
(2005): patokan-patokan normatif atau
konsepsi-konsepsi ideal tentang segala sesuatu yang dipandang berharga untuk
dijadikan sebagai pedoman dalam mengendalikan ucapan, tindakan, perilaku dan
perbuatan.
Ragam/jenis
nilai luhur budaya suku bangsa ada 4, yakni: nilai religius, nilai filofis,
nilai etis, dan nilai estetis.
(1) Nilai Religius
Agama adalah sumber nilai yang secara hakiki
memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan semua orientasi
nilai lainnya. Hal ini disebabkan karena nilai agama bersumber dari kebenaran
tertinggi yang datangnya dari Tuhan (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam
Muljana, 2004:35).
Gie (2004:115) menyebutnya nilai kekudusan (holiness), yakni nilai yang berasal
dari tindakan universal yang dilakukan manusia untuk mengejar suatu tujuan
agung menyangkut hajat hidup atau kepentingan seluruh umat manusia
Dalam
kehidupan manusia, nilai religius diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk berikut
ini:
1. Pemujaan (worship) kepada Tuhan
2. Pengukuhan (affirmation) diri dalam kelompok
masyarakat religius
3. Persaudaraan (fellowship) dalam pergaulan dengan
anggota kelompok masyrakat religius
4. Kepastian (assurance) dalam keyakinan bahwa di
balik dunia yang fana ini ada Tuhan yang patut disembah
5. Harapan (hope) dalam perasaan bahwa kebaikan akan
mengalahkan kejahatan.
Agama mempunyai pengaruh besar di dalam membentuk
kepribadian seorang individu. Bahkan adanya berbagai mazhab di dalam satu agama
pun melahirkan pula kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya
)Soekanto, 2012:165).
Masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar
sejak tahun-tahun pertama berdirinya kerajaan baru ini menjadi embrio masuknya
nilai-nilai relegius Islami ke dalam identitas budaya masyarakat Banjar.
Penamaan Banjar untuk suku bangsa ini sendiri juga berkaitan dengan keberadaan
Kerajaan Banjar yang didirikan oleh Sultan Suriansyah, 24 September 1526. Dalam
hal ini orang Banjar artinya adalah warga negara Kerajaan Banjar.
Istilah itu langsung merosot acuannya dari warga
negara Kerajaan Banjar menjadi nama suku bangsa. Hal ini terjadi sejak Kerajaan
Banjar dihapuskan keberadaannya secara sepihak melalui surat keputusan yang
diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, 1860. Tahun 1945, ketika
Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah bekas
Kerajaan Banjar ini secara otomatis diintegrasikan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republic Indonesia karena statusnya sebagai bekas wilayah jajahan
pemerintah colonial Belanda.
Sejak awal masyarakat Banjar sudah identik dengan
agama Islam, karena sejak awal pula Kerajaan Banjar dibangun dengan mengusung
ajaran agama Islam sebagai ideologynya. Fakta historis ini membuat nilai-nilai
relegius Islami mulai merasuk ke dalam sendi-sendi peribahasa Banjar. Ajaran
agama Islam menjadi latar belakang genetic dari sejumlah peribahasa Banjar yang
mengandung nilai religiusitas Islami.
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai religious
Ada
hari ada nasi (Ganie, 2007, 2013:4), di
mana ada hari di sana masih ada nasi. Mamang
Papadah ini merupakan nasihat bahwa selama masih ada umur (hari) pasti
masih ada rezeki (nasi) untuknya. Hari merujuk kepada umur manusia, sementara
nasi merujuk kepada rezeki.
Ada nyawa
ada rajaki (Ganie,
2007, 2013:6), ada umur ada rezeki. Mamang Papadah ini merupakan nasihat
bahwa selama masih ada umur (nyawa) pasti masih ada rezeki (rajaki) untuknya.
Nyawa merujuk kepada umur manusia, sementara rajaki merujuk kepada rezeki.
Allahhu
wahdah, inya mambari kada bawadah, inya maambil kada bapadah (Makkie
dan Seman, 1996:11), ungkapan tersebut bermakna Allah Maha Esa, Dia memberi
ni’mat kepada hamba-Nya tidak terhitung, Dia mengambil ni’mat dari hamba-Nya
tidak memberitahu. Unghkapan tersebut untuk mengingatkan manusia bahwa Allah
Yang Maha Esa berbuat sekehendak-Nya. Oleh karena itu kita sebagai hambanya
harus bersyukur dan selalu ingat kepada-Nya. Bersyukur atas segala ni’mat yang
telah diberikan-Nya kepada kita, ingat bahwa pada suatu saat yang tidak
diketahui, nyawa kita akan diambil dan kembali ke hadirat-Nya untuk
mempertanggungjawabkan amal perbuatan kita.
Allah ta’ala batata haja (Ganie, 2007,
2013:13), Allah Ta’ala Zat Yang Maha Mengetahui Segalanya akan menata segala
sesuatunya dengan adil dan sempurna. Papadah
ini merupakan nasihat agar kita menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt.
Jangan berkecil hati, mintalah keadilan kepada-Nya setiap kali kita dizalimi
orang.
Habis akal hanyar tawakal (Ganie,
2007), habis akal baru tawakal. Papadah
ini merupakan nasihat agar segala sesuatu dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan
jangan lupa pula berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah swt
(bertawakal).
Habis ihtiar habis tawakal (Ganie, 2007), habis ikhtiar, habis tawakal. Mamang Papadah ini merupakan nasihat agar dalam mengerjakan suatu pekerjaan kita hendaknya mengerahkan segala kemampuan yang ada pada kita. Selain itu juga dinasihatkan agar kita jangan lupa berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah swt (bertawakal).
Habis ihtiar hanyar tawakal (Ganie, 2007), habis ikhtiar, baru tawakal. Papadah ini merupakan nasihat agar dalam mengerjakan suatu pekerjaan kita hendaknya mengerahkan segala kemampuan yang ada pada kita. Sehabis itu kita juga dinasihatkan agar jangan lupa berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah swt (bertawakal).
Hulat dalam batu gin ada rajakinya (Makkie dan Seman,
1996:52). Orang Banjar dikenal
sebagai sebagai orang yang kuat dan taat dalam menjalankan ibadah agama
(Islam), memiliki keimanan yang teguh. Memiliki keyakinan bahwa Allah Swt
satu-satunya zat Yang Maha Kuasa yang memberikan reziki kepada seluruh makhluk
di mana pun dan kapanpun. Setiap makhluk yang melata di muka bumi ini, telah
ditentukan Allah Swt rezekinya. Jangankan manusia, ulat dalam batu sekalipun
diberi oleh Allah Swt. Oleh karena itu setiap orang jangan merasa khawatir
tentang rezekinya, di mana pun dan kapan pun dia berada. Peribahasa ini
merupakan nasihat afar tidak putus asa dalam berusaha.
(2) Nilai Filosofis
Nilai filosofis disebut juga sebagai nilai
teoretis, yakni nilai yang diwujudkan sebagai hasil dari pertimbangan logis dan
rasional dalam konteks membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik memiliki
kadar benar atau salah menurut pertimbangan akal pikiran, sehingga nilai
teoretik ini erat sekali kaitannya dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip,
teori, dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatandan pembuktian
ilmiah (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana, 2004:33).
Nilai filosofis juga identik dengan nilai
kebenaran (truth), nilai ini berasal
dari pengetahuan manusia yang bercorak abstrak dan intelektual (pengetahuan
dalam lingkup akal manusia). Nilai kebenaran mewujudkan dirinya menjadi nilai
intelektual (nilai ilmu) yang dalam kehidupan manusia diaktualisasikan dalam
bentuk-bentuk berikut ini
1 Pengetahuan
(intelektual dan inderawi)
2 Pencarian
kebenaran (ilmiah dan logis)
(Gie, 2004:116)
Nilai filosofis dalam peribahasa Banjar mengacu
pada hasil pertimbangan logis dan rasional yang dilakukan oleh masyarakat
Banjar dalam konteks membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai filosofis memiliki
kadar benar atau salah menurut pertimbangan akal pikiran, sehingga nilai
filosofis erat sekali kaitannya dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori,
dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatan dan pembuktian ilmiah.
Nilai filosofis dalam peribahasa Banjar juga identik dengan nilai kebenaran (truth), nilai ini berasal dari
pengetahuan manusia yang bercorak abstrak dan intelektual (pengetahuan dalam
lingkup akal manusia).
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai
filosofis:
Asal mambawa bujur lawan banar,
salamat (Makkie dan
Seman, 1996:14-15), seseorang yang mempunyai sikap lurus (bujur) dan benar (banar),
pasti akan selamat. Semua orang akan berpihak kepada yang benar. Peribahasa
yang bersifat nasihat ini biasanya diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang
akamn pergi merantau, dia menasihati supaya berbuat lurus dan benar agar selamat
di negeri orang. Peribahasa yang sama maksudnya ialah: asal membawa bujur lawan banar, parang bungkul gin kada tadas, artinya:
asal berbuat lurus dan benar parang
bungkul (senjata tajam) pun tidak mempan.
Kuduk kada mati, ular kada kanyang
(Makkie dan Seman, 1998:33), Kodok (kuduk) adalah sejenis binatang
makanan ular. Jika kodok dimakan ular, kodok akan mati dan ular akan kenyang.
Sebaliknya jika kodok tidak tidak mati, maka ular tidak akan kenyang.
Peribahasa ini dikiaskan kepada dua pihak yang ingin menyelesaikan suatu
masalah dengan prinsip saling menguntungkan. Biasanya ada pihak ketiga yang
membantu mencarikan pemecahannya. Dengan berbagai pendekatan akhirnya
diotemukan kesepakatan di antara kedua belah pihak di mana masing-masing pihak
merasa puas atas keputusan yang diambil.
Lain danau lain iwaknya (Makkie dan Seman, 1998:38), di dalam setiap danau hidup berbagai jenis
ikan (iwak), namun antara danua yang
satu dengan yang lain mungkin terdapat perbedaan jenis atau bentuk ikan-ikan
tersebut. Ungkapan ini dikiaskan kepada daerah yang mempunyai adat istiadat
atau budaya masing-masing penduduknya, sehingga antara satu daerah dengan
daerah lainnya dalam hal-hal tertentu mempunyai cirri sendiri-sendiri, namun
terdapat pula persamaan secara umum, sebagaimana kehidupan ikan-ikan di setiap
danau yang diungkapkan dengan peribahasa tersebut di atas.
Lain danau lain iwaknya (Makkie dan Seman, 1998:38), di dalam setiap danau hidup berbagai jenis
ikan (iwak), namun antara danua yang
satu dengan yang lain mungkin terdapat perbedaan jenis atau bentuk ikan-ikan
tersebut. Ungkapan ini dikiaskan kepada daerah yang mempunyai adat istiadat
atau budaya masing-masing penduduknya, sehingga antara satu daerah dengan
daerah lainnya dalam hal-hal tertentu mempunyai cirri sendiri-sendiri, namun
terdapat pula persamaan secara umum, sebagaimana kehidupan ikan-ikan di setiaop
danau yang diungkapkan dengan peribahasa tersebut di atas.
Salapik sakaguringan, sabantal sakalang hulu (Makkie dan
Seman, 1998:69), berarti tidur bersama dalam satu kasur dan satu bantal.
Ungkapan ini melukiskan dua orang yang bersahabatb sangat akrab, begitu
akrabnya persahabatan mereka, sehingga keduanya selalu bersama dan sulit
dipisahkan. Senang sama senang, susah sama susah. Ungkapan yang sama maknanya
disebutkan pula: samuak saliur atau sarantang saruntung.
Sapuluh batang batindih, bilungka jua nang ramuknya (Makkie dan
Seman, 1998:70), bilungka (mentimun)
sejenis buah yang lemah, gampang pecah, gampang pecah jika terjatuh, tertindih,
atau tertimpa benda keras. Apabila bilungka
berada di bawah benda-benda keras maka sudah pasti bilungka tersebut akan pecah atau hancur (rimik). Peribahasa ini dikiaskan kepada rakyat kecil yang selalu
menerima akibat dari suatu kebijakan atau pertentangan yang terjadi di kalangan
atas atau pemimpin. Akibatnya rakyat kecillah yang akan menerima kerugian.
Peribahasa ini menggambarkan bahwa rakyat kecil tetap berada pada posisi yang
lemah. Peribahasa yang sama gajah
bakalahi pilanduk nang mati.
Satu karja dua gawi (Makkie dan Seman, 1998:71), biasanya orang melaksanakan satu pekerjaan
kemudian baru mengerjakan yang lain. Tetapi ada pula orang yang bias
melaksanakan dua pekerjaan sekaligus, misalnya seorang yang sedang menggali
saluran di sawah dapat sekaligus menggunakan tanah galian tersebut untuk
membuat galangan (tanggul) di sawah tersebut. Ungkapan ini mempunyai makna
seseorang yang mempunyai keterampilan dan pandai memanfaatkan waktu, sehingga
dapat memperoleh hasil ganda (maksimal). Hal semacam ini diungkapkan dengan
satu karja dua gawi, atau sama artinya dengan sekali merengkuh dayung dua tiga
pulau terlampaui.
Sudah banyak makan uyah (Makkie dan Seman, 1998:73), uyah
(garam) sangat diperlukan oleh manusia, tidak hanya untuk penyedap makanan,
tetapi juga diperlukan untuk kesehatan. Sejak usia muda hingga tua manusia
selalu memerlukan garam baik untuk makanan maupun kesehatan. Makin panjang usia
seseorang, makin banyak memakan garam. Sudah banyak makan uyah dalam peribahasa ini maksudnya ialah untuk menggambarkan
banyaknya pengalaman seseorang, banyak merasakan suka duka dalam kehidupan.
Orang tua yang baik ialah orang tua yang suka memberikan atau pengalaman
hidupnya kepada yang muda. Sebaliknya orang yang masih muda seharusnya menimba
pengalaman dari orang yang lebih tua.
Surung kiwa sambut kanan (Makkie dan Seman, 1998:75), seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang
lain dengan tangan dan diterima oleh seseorang lainnya dengan tangan pula.
Ungkapan ini menggambarkan suatu negosiasi antara dua orang yang masing-masing
mempunyai kepentingan, sehingga dlam waktu yang bersamaan maisng-masing pihak
menyerahkan dan menerima sesuatu yang telah disepakati. Surung kiwa sambut kanan berarti memberikan dengan tangan kiri dan
menerima dengan tangan kanan, maksudnya ialah tidak memakai perantara.
Timbul tinggalam kulabuni (Makkie dan Seman, 1998:88), timbul atau tenggelam adalah risiko pada
saat kita berada di sungai atau di laut. Apabila timbul, hal itu berarti
membawa hasil yang baik (selamat). Sebaliknya apabila tenggelam, hal iytu
menunjukkan ketidakberhasilan atau kerugian (bahaya). Ungkapan di atas berarti
suatu tekad perjuangan, selamat atau berbahaya tetap diperjuangkan. Ungkapan
ini menggambarkan keberanian seseorang untuk mengambil risiko apapun, demi
tercapainya suatu tujuan.
Wani manimbai, wani manajuni
(Makkie dan Seman, 1998:97), bilamana seseorang menabur jala di sungai,
bias saja jala tersebut terkait sesuatu di dalam air, orang tersebut mau tidak
mau harus terjun ke dalam sungai itu nuntuk melepaskan jalanya yang terkait.
Peribahasa ini dikiaskan kepada seseorang yang berani melakukan sesuatu yang
berisiko harus berani pula menanggung akibatnya. Berani berbuat berani
bertanggungjawab. Itulah maksud peribahasa ini.
(3) Nilai etis
Nilai etis adalah nilai yang di dalamnya memiliki
konsekwensi tanggung jawab tertentu dalam konteks hubungan social yang harmonis
di antara para individu. Nilai etis berkaitan dengan perilaku manusia yang
didasarkan kepada kebebasan, tanggung jawab, dan kehati-hatian bersikap
(Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana, 2004:37).
Nilai etis atau nilai kebaikan (goodness), nilai ini berasal dari
tindakan individual yang dilakukan manusia untuk mengejar suatu tujuan spesifik
menyangkut hajat hidup atau kepentingan pribadinya sebagai manusia. Nilai kebaikan mewujudkan dirinya menjadi
nilai etis yang dalam kehidupan manusia diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk
berikut ini
1. Kearifan (wisdom)
2. Ketabahan (courage)
3. Pengendalian
diri (discipline)
4. Keadilan (justice)
5. Kesediaan
menolong (benevolence)
6. Kemurahan hati
(benignity)
7. Kesetiaan (loyalty)
8. Kejujuran
(honesty)
9.
Kesederhanaan (temperance)
(Gie,
2004:115-116)
Nilai etis dalam peribahasa Banjar adalah nilai
yang di dalamnya memiliki konsekwensi tanggung jawab tertentu dalam konteks
hubungan social yang harmonis di antara para individu. Nilai etis berkaitan
dengan perilaku manusia yang didasarkan kepada kebebasan, tanggung jawab, dan
kehati-hatian bersikap. Nilai etis atau nilai kebaikan (goodness), nilai ini berasal dari tindakan individual yang
dilakukan manusia untuk mengejar suatu tujuan spesifik menyangkut hajat hidup
atau kepentingan pribadinya sebagai manusia.
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai
etis
Amun
bapandir di bawah-bawah, amun mandi di hilir-hilir (Ganie, 2007, 2013:20),
berbicara di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir. Mamang papadah ini berisi nasihat agar kita selalu bersikap rendah
hati dan tidak suka menyombongkan diri.
Amun
bapandir jangan di atas-atas, amun mandi jangan di hulu-hulu (Ganie,
2007, 2013:20), berbicara di atas-atas, mandi di
hulu-hulu. Mamang papadah ini
merupakan nasihata agar kita jangan bersikap tinggi hati dan suka menyombong
diiri.
Amun
bapandir jangan kada baapik (Ganie, 2007, 2013:20),
jika berbicara harus hati-hati. Papadah
ini berisi nasihat agar kita selalu berhati-hati dalam berbicara. Jangan sampai
membuat orang lain tersinggung sehingga
membuatnya marah.
Amun
bapandir jangan kada balapik (Ganie, 2007, 2013:20),
jika bicara jangan sampai tak beralas. Papadah
ini berisi nasihat agar kita hendaknya selalu berhati-hati dalam berkata-kata.
Sedapat mungkin hindari penggunaan kata-kata yang langsung menusuk perasaan
orang, gunakanlah kata-kata yang dengan halusnya dapat menyentuh perasaan
orang.
Baduduk
sadang badiri sadang (Ganie, 2007, 2013:71), duduk cocok,
berdiri cocok juga. Mamang papadah ini berisi nasihat agar kita
selalu pandai menyesuaikan diri dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat.
Lebih-lebih jika kita berstatus sebagai seorang pendatang atau orang baru di
lingkungan masyarakat tempat tinggal kita. Dalam hal ini bersikaplah arif,
yakni jangan terlalu meninggikan diri (berdiri terlalu tinggi) dan jangan pula
terlalu merendahkan diri (duduk terlalu rendah).
Baduduk
sama randah badiri sama tinggi (Ganie, 2007, 2013:71),
duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Kiasan
ini merupakan ungkapan untuk menggambarkan bahwa manusia di muka bumi pada
dasarnya setingkat sederajat, tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang
lebih tinggi.
Jangan
babungkun bapaluk tubuh (Ganie, 2007, 2013:303),
jangan berselimut sarung sambil memeluk tubuh sendiri. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan suka
bermalas-malasan, tidur mendengkur, dalam keadaan menganggur, atau tidak sedang
bekerja mencari nafkah. Babungkun
(berselimut sarung) dan bapaluk tubuh
(berpeluk tubuh) melambangkan bahasa tubuh orang tidur yang berkonotasi kepada
kemalasan.
Jangan baigal di pahumaan urang (Ganie, 2007, 2013:306), jangan menari di sawah milik orang. Papadah ini berisi nasihat agar kita jangan sampai berbuat aniaya atau berbuat zalim kepada orang lain.
Jangan balarut banyu bagawi (Ganie, 2007,
2013:308), jangan bekerja mengikuti arus. Papadah
ini merupakan merupakan nasihat agar kita jangan lamban dalam mengerjakan
sesuatu.
Jangan baludah ka atas, kaina taludahi muha
saurang (Ganie,
2006), jangan meludah ke atas nanti terkena wajah sendiri. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan coba-coba
mengeritik atasannya karena risikonya terludahi wajah sendiri.
Jangan
barungkau di hadapan rajaki ganal (Ganie, 2007, 2013:310),
jangan berkelahi di depan rezeki besar. Papadah
ini merupakan nasihat untuk dua orang bersaudara agar jangan berkelahi
ketika sedang makan bersama. Rajaki ganal
(rezeki besar) merujuk kepada nasi yang siap disantap.
Jangan
buruk sikuan (Ganie,
2007, 2013:312), jangan sampai siku berkudis. Papadah ini berisi nasihat agar kita jangan menarik kembali
barang-barang yang sudah kita berikan kepada orang lain.
Jangan
buta tuli (Ganie,
2007, 2013:312), jangan buta tuli. Papadah
ini merupakan nasihat agar kita jang bersikap acuh tak acuh, tidak mau ambil peduli,
atau tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang terjadi di sekeliling kita
(karena secara sosial kita sudah seharusnya mempedulikannya atau
memperhatikannya)
Jangan
calungap sandukan (Ganie, 2007, 2013:312), jangan sambar hirup sandukan. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan ikut menanggapi
pembicaraan orang lain tanpa permisi
sama sekali, karena sikap seperti itu termasuk perilaku buruk yang sangat
memalukan. Ungkapan calungap sandukan
sendiri merujuk kepada perilaku buruk manusia yang langsung menyambar dan
menghirup kuah sayur yang masih ada di dalam senduk.
Jangan
ganal pamandiran (Ganie, 2007, 2013:321), jangan besar jika bicara.
Papadah ini merupakan nasihat agar
kita jangan suka menyombongkan diri.
Jangan
hirang bapadah putih, putih bapadah hirang (Ganie, 2007, 2013:321),
jangan hirang bilang putih, putih bilang hirang. Mamang papadah ini merupakan nasihat agar kita selalu bersikap
jujur. Jangan mengubah-ubah identitas diri dengan sesuka hati.
Jangan
kada ingat manyusur pinggir tapih (Ganie, 2007, 2013:324), jang
lupa menelusuri tepi sarung. Papadah
ini merupakan nasihat agar kita selalu melakukan intropeksi diri.
Jangan
kada saukur mata lawan talinga (Ganie, 2007, 2013:324),
jangan tidak seukur antara mata dengan telinga. Papadah ini merupakan nasihat agar kita selalu menyeimbangkan
antara yang dilihat dengan yang didengar, begitu pula sebaliknya.
Jangan mahapak urang (Ganie, 2001, 2013:352), jangan meremehkan orang. Papadah ini berisi nasihat agar kita sekali-kali meremehkan orang lain.
Jangan manajak bandira di kampung urang (Ganie, 2006,
2013:339), jangan memasang bendera di kampung orang. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan memaksakan diri
menanam kharisma kekuasaan di kampung orang. Bandira (bendera) melambangkan kekuasaan.
Kaya manjuhut rambut di galapung
(Makkie dan Seman, 1998:28), peribahasa ini
selengkapnya berbunyi: kaya manjuhut
rambut di galapung, rambut kada pagat, galapung kada tahambur. Peribahasa
ini menggambarkan suatu cara yang sangat bijaksana dalam menyelesaikan suatu
masalah, mungkin persengketaan atau perselisihan di antara dua pihak. Dengan
cara yang bijaksana, musyawarah, dan mufakat, masalah tersebut dapat
diselesaikan dengan baik di mana kedua belah pihak sama-sama merasa puas dan
tidak merasa dirugikan.
(4) Nilai estetis
Nilai
estetik adalah konsep nilai yang menempatkan bentuk dan keharmonisan pada tingkatan nilai yang paling tinggi
kadarnya. Ditinjau dari subyek yang memilikinya, nilai estetik merujuk pada
nilai keindahan dan tidak indah (Spranger, dalam Alport, 1964, dalam Muljana,
2004:34)
Nilai
estetik juga
lajim disebut sebagai nilai keindahan
(beauty), nilai ini menurut Gie (2004:115-116) berasal dari pengetahuan manusia yang
bercorak kongkret dan inderawi (pengetahuan dalam
lingkup indera manusia). Nilai keindahan mewujudkan dirinya
dalam kehidupan manusia yang dalam hal
ini diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk
berikut ini:
1. Katagori yang
agung dan elok
2. Katagori yang
komis dan tragis
3. Katagori yang
indah dan jelek
Nilai estetik dalam peribahasa Banjar mengacu pada
konsep nilai yang menempatkan bentuk dan keharmonisan masyarakat Banjar pada
tingkatan nilai yang paling tinggi kadarnya. Ditinjau dari subyek yang
memilikinya, nilai estetik merujuk pada nilai keindahan dan tidak indah. Nilai
estetik berasal dari pengetahuan manusia yang bercorak kongkret dan inderawi
(pengetahuan dalam lingkup indera manusia).
Contoh Peribahasa Banjar yang mengandung nilai
estetik:
Bahindang bahindala (Makkie dan Seman, 1996:20), suatu pemandangan yang menyolok karena warna dan cahaya yang berlebihan (menyala) atau sangat glamour. Pemandangan seperti itu dapat dijumpai pada pakaian, perhiasan, atau dekorasi, pakaian bintang film India atau film klasik.
Basa barinda (Makkie dan Seman, 1996:25), barinda adalah bersulam, sehingga menimbulkan variasi dan dapat menarik minat atau perhatian orang lain, umumnya untuk sulaman pada selendang atau baju kebaya wanita. Berbahasa atau berbicara dengan pelbagai variasi dengan berbunga-bunga bahasa dapat menarik perhatian orang atau mungkin juga bias menjemukan orang. Ungkapan basa barinda ini merupakan kiasan seseorang yang pandai membuat variasi dalam percakapan.
Basa barinda (Makkie dan Seman, 1996:25), barinda adalah bersulam, sehingga menimbulkan variasi dan dapat menarik minat atau perhatian orang lain, umumnya untuk sulaman pada selendang atau baju kebaya wanita. Berbahasa atau berbicara dengan pelbagai variasi dengan berbunga-bunga bahasa dapat menarik perhatian orang atau mungkin juga bias menjemukan orang. Ungkapan basa barinda ini merupakan kiasan seseorang yang pandai membuat variasi dalam percakapan.
Busuluh bintang (Makkie dan Seman, 1996:25), peribahasa ini lahir di zaman belum ada penerangan listrik di jalan umum. Jalan-jalan di pedesaanb masih gelap gulita, kecualio bulan purnama. Bila orang berjalan pada malam hari biasanya memakai suluh (daun kelapa yang sudah kering diikat dan dinyalakan dengan api). Bagi orang yang tidak mempunyai suluh tersebut maka berjalan malam hari atau berjalan dalam gelap disebut basuluh bintang, artinya hanya bintang di langit yang menjadi petunjuk jalan. Ungkapan ini sering dijumpai dalam cerita percintaan.
Buah hati caramin mata (Makkie dan Seman, 1996:29), hati adalah bagian penting dalam tubuh manusia, sedangkan cermin merupakan alat untuk melihat bayangan diri. Ungkapan ini adalah sebuah kiasan kepada seorang anak yang disayangi oleh ibu kandungnya. Buah hati mengandung arti bahwa anak adalah belahan jiwa, sedangkan caramin mata mengandung makna bahwa anak tersebut tak pernah lepas dari ingatannya atau bayangannya.
Dagu kaya kumbang bagantung (Makkie dan Seman, 1996:35), wajah seorang wanita cantik selalu dikagumi dan dipuji. Bentuk dagu, mata, hidung, pipi, dahi, rambut, dan lain-lain dimisalkan dengan ungkapan yang indah. Peribahasa ini ingin menggambarkan bentuk dagu yang indah yang dikiaskan seperti kumbang bergantung
Dahi kaya bulan sahiris (Makkie dan Seman, 1996:36), dahi atau jidat adalah bagian muka manusia. Seseorang yang mepunyai dahi lebar dinilai kurang bagus. Begitu pula bentuk dahi yang cembung, dalam bahasa Banjar disebut tungkung. Bulan sahiris (seiris) adalah semisal bulan sabit yang indah dan bersinar. Peribahasa ini menggambarkan seseorang yang memiliki bentuk dahi yang indah. Kalau disebut dahi kaya bulan sahiris, maka hal itu merupakan pujian bagi seorang wanita yang berwajah cantik.
Gigi kaya jagung babaris (Makkie dan Seman, 1996:44), yang dimaksud dengan jagung babaris di sini adalah biji jagung yang tersusun rapi, bersih, dan sehat. Kiasan ini menggambarkan bentuk dasn susunan gigi yang rapi, bersih, dan sehat.
Gulu langgak kaya minjangan bukah (Makkie dan Seman, 1996:45), bila seekor menjangan lari lehernya tegak ke atas. Leher menjangan yang tegak ke atas dikiaskan kepada seseorang yang memiliki leher yang bagus, biasanya sesuai dengan bentuk tubuh yang semampai.
Hidung mancung kaya bawang sasihung (Makkie dan Seman, 1996:51), bentuk hidung seseorang yang mirip[ dengan bawang sesiung (berbentuk mancung), dimaksudkan untuk memuji seseorang yang mempunyai bentuk hidung yang bagus, biasanya untuk wanita.
Hidung mancung kaya bawang sasihung (Makkie dan Seman, 1996:51), bentuk hidung seseorang yang mirip[ dengan bawang sesiung (berbentuk mancung), dimaksudkan untuk memuji seseorang yang mempunyai bentuk hidung yang bagus, biasanya untuk wanita.
Hirang-hirang gula habang (Makkie dan Seman, 1996:51), gula merah ada yang berwarna agak kekuning-kuningan dan ada juga yang berwarna agak kehitam-hitaman. Keduanya memiliki rasa yang manis. Ungkapan di atas dikiaskan kepada seseorang yang berkulit hitam manis, baik dia seorang pria atau wanita.
Jariji manyugi landak (Makkie dan Seman, 1996:60), duri landak berbentuk panjang dan lancip serta berwarna putih. Jari seorang perempuan yang kecil-kecil dengan kuku-kuku yang terawatt bersih serta kulita yang berwarna putih, adalah suatu gambaran kebagusan yang dikiaskan dengan ungkapan tersebut. Kalau keadaan jari, kuku, dan kulit putih yang demikian bagus, maka biasanya seorangt perempuan itu adalah berparas cantik. Kiasan itu adalah suatu ungkapan yang bersifat pujian terhadap seorang perempuan.
RUJUKAN
Ganie, Tajuddin
Noor, 2013. Kamus Peribahasa Banjar. A-K
dan L-W. Banjarmasin: Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar. Rdisi 2013.
Gie, The Liang,
2004. Filsafat Keindahan. Yogyakarta:
Penerbit Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB). Cetakan II.
Ideham,
Suriansyah. dkk. 2007. Urang Banjar dan
Kebudayaannya. Banjarmasin: Penerbit Balitbangda Prov. Kalsel.. Cetakan II.
Koentjaraningrat,
2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Edisi Revisi.
Keesing, Roger
M., 1981. Samuel Gunawan (Penerjemah). Antropologi
Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Penerbit Erlangga. Edisi
Kedua.
Mulyana,
Rohmat, 2004. Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai. Bandung: Penerbit Alfabeta. Cetakan I.
Soekanto,
Soerjono, 2012. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan ke 44.
File: Ceramah,
2013, Budaya Luhur
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSemua naskah yang ada di blog Peribahasa Banjar ini boleh dibaca, dan dikutip oleh siapa saja. Syaratnya mudah minta izin secara tertulis, minimal mengucapkan assalammualaikum, atau mengucapkan terima kasih secara tertulis di kolom komentar ini. Terima kasih. Kontak pribadi ganietajuddinnoor@yahoo.co.id
BalasHapusassalamu'alaikum,, izin mengopi lah,, kna ulun sertakan juA sumbernya :),,, kalau buku ttg ni ada lah pak??
BalasHapusIman Prasojo Al Banjari, silakan
HapusTerika kasih kerana dapat berkongsi pengetahuan.
BalasHapusAssalamualaikum pak :) ulun ijin mengutip tulisan bapak
BalasHapusAssalamu'alaikum, ikut mengutip, pak
BalasHapusAssalamu'alaikum, ikut mengutip, pak
BalasHapusassalamualaikum, ikut mengutip ya pak. terima kasih kerana berkongsi infonya
BalasHapus