Senin, 11 April 2011

UPAYA UNTUK MEMULIHKAN FUNGSI SOSIAL PERIBAHASA BANJAR

Oleh Tajuddin Noor Ganie, MPd

Sejak lama peribahasa Banjar mengemban fungsi sosial sebagai wahana pewarisan dan pemahaman gagasan tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keseharian etnis Banjar di Kasel.
Tidak hanya itu, melalui peribahasa Banjar sebagai medianya, etnis Banjar di Kalsel dapat mengungkapkan alam pikiran, sikap hidup, dan sistem sosial budaya mereka.
Sehubungan dengan itu, tidak dapat dipungkiri peribahasa Banjar memiliki arti penting, setidak-tidaknya ada 3 fakta empirik yang menjadi dasar rasionalnya, yakni.
(1) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang bersifat intersubjektif, dalam arti bukan sekadar artefak atau fakta kebendaan saja;
(2) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang diwujudkan dalam bentuk wacana atau inskripsi dengan kandungan 3 gugus fakta sekaligus, yakni fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran budaya milik bersama, dan fakta sosial (sociofact) dari etnis Banjar; dan
(3) peribahasa Banjar adalah folklor Banjar yang berhubungan dengan dunia gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya etnis Banjar.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka.
Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa.
Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar.
Namun, sungguh ironis, fakta empirik peribahasa Banjar yang begitu istimewa, ternyata tidak diimbangi dengan fakta historis peribahasa Banjar yang terbilang istimewa juga.
Fakta menunjukkan, di kalangan etnis Banjar sendiri belum banyak mereka yang kafasitasnya memenuhi kriteria sebagai ahli waris pasif peribahasa Banjar apalagi ahli waris aktif.
Dalam hal ini yang paling dominan adalah mereka yang sama sekali tidak tahu, tidak tahu menahu, dan tidak mau tahu tentang kekayaan folklor Banjar yang sesungguhnya harus mereka warisi dan lestarikan itu.
Kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi peribahasa harus semakin digiatkan terus menerus dari waktu ke waktu.
Jika tidak, dikhawatirkan peribahasa Banjar akan menjadi kekayaan budaya yang keberadaannya diabaikan oleh generasi muda. Bahkan, pada akhirnya akan punah tak bersisa sama sekali.
Saya prihatin dengan nasib buruk peribahasa Banjar yang demikian itu. Disemangati oleh rasa keprihatinan yang mendalam, saya kemudian dengan sengaja menjadikannya sebagai bahan kajian tesis saya di Program Pascasarjana PBSID FKIP Unlam Banjarmasin (2005).
Meskipun telah berhasil menyelesaikan penulisan tesis, namun saya tetap melanjutkan kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar. Tahun 2006, saya berhasil menyelesaikan penulisan Kamus Peribahasa Banjar (KPB). Jumlah entri/lemanya ketika itu cuma 1.358 buah.
Kegiatan pengumpulan dan pengkajian peribahasa Banjar masih terus saya lakukan hingga sekarang ini. Paling akhir saya meluncurkan KPB (2010) dengan jumlah entri/lema sebanyak 9.058 buah.
Setiap peribahasa Banjar yang menjadi entri/lema di dalam KPB (2010) saya uraikan satu demi satu dengan merujuk kepada 4 aspek bahasan, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai. Tebal KPB (2010) adalah 1.539+L halaman setengah folio.
Saya berharap penerbitan KPB (Edisi 2010) ini merupakan awal untuk memulihkan fungsi sosial peribahasa Banjar sebagai media kolektif untuk mengajarkan adat-istiadat, moral normatif, estetika, etika, filsafat, norma-norma sosial, dan norma-norma politik.

----------
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Budayawan dan intelektual Banjar pertama yang menulis tesis tentang peribahasa Banjar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar